Selasa, 30 Desember 2008

MENURUT HUKUM: SAHKAH ANAK ANDA?

MENURUT HUKUM: SAHKAH ANAK ANDA?

Oleh: Dr. Maidin Gultom, S.H., M.H.

Pendahuluan

Pasal 330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata), menentukan bahwa belum dewasa apabila belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Pasal 1 ayat (2) UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, menentukan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun dan belum pernah kawin. Pasal 1 angka 1 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menentukan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak dapat dibedakan atas anak kandung yaitu anak yang mempunyai hubungan darah dengan salah satu atau kedua orang tuanya (ayah dan atau ibunya) dan anak angkat yaitu anak yang tidak mempunyai hubungan darah dengan salah satu atau kedua orang tuanya; Anak sah yaitu anak yang dilahirkan akibat atau yang diikuti oleh perkawinan yang sah dan anak tidak sah yaitu anak yang dilahirkan bukan akibat atau yang diikuti oleh perkawinan yang sah. Anak sah terdiri dari: anak yang dibenihkan di luar perkawinan dan dilahirkan di dalam perkawinan (hamil dulu baru kawin, anaknya adalah sah), anak yang dibenihkan di dalam perkawinan dan dilahirkan di dalam perkawinan (hamil dan melahirkan dalam perkawinan), anak yang dibenihkan di dalam perkawinan dan dilahirkan di luar perkawinan (karena cerai, meninggal dunia), anak yang dibenihkan dan dilahirkan di luar perkawinan dan diikuti dengan perkawinan (dengan pengakuan suaminya); di samping itu dikenal pula anak haram, yaitu anak yang dilahirkan dari perkawinan yang dilarang (seperti perkawinan dari orang-orang yang mempunyai hubungan darah).


Perkawinan Sah dan Anak Sah

Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Perkawinan, menentukan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KYME. Berdasarkan ketentuan ini, dapat ditafsirkan bahwa perkawinan sejenis (homoseksual/lesbian) bukan merupakan perkawinan sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang ini.

Pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 menentukan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Dari Pasal ini dapat diketahui bahwa anak disebut anak sah bila lahir karena perkawinan yang sah. Jika anak lahir tidak dengan perkawinan yang sah berarti bukan anak sah.

Berkaitan dengan perkawinan yang sah, Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 menentukan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dari ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa perkawinan disebut sah apabila dilangsungkan menurut agama dan kepercayaannya itu dan perkawinan tersebut dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil (Dinas Kependudukan). Hal ini berarti bahwa bila perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan saja, tanpa mencatatkan pada Kantor Catatan Sipil (Dinas Kependudukan), maka perkawinan itu tidak sah.

Begitu juga bila hanya dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil, tanpa dilangsungkan menurut agama, maka perkawinan itu juga tidak sah? Hal ini juga menunjukkan bahwa anak yang dilahirkan dalam perkawinan ini dianggap tidak sah? Jelas bahwa anak yang dilahirkan bukan karena akibat/diikuti oleh perkawinan yang sah, bukan merupakan anak sah tetapi merupakan anak yang tidak sah.

Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa status perkawinan sangat menentukan status/kedudukan hukum anak. Jadi anak sah dilahirkan karena perkawinan yang sah, dan apabila anak lahir bukan karena perkawinan yang sah (menurut Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974).

Dalam praktik, hal ini menimbulkan permasalahan, dimana dalam kenyataannya bisa saja terdapat penduduk yang memeluk agama namun agama yang dianutnya, belum diakui secara juridis eksistensinya di Indonesia. Agama-agama tersebut seperti Kong Hu Chu, Anglikan, Ortodhox dan lain-lain. Dalam praktik para petugas sering tidak memahami bahwa agama tersebut di atas, memang belum diakui secara sah di Indonesia, tetapi yang sebenarnya agama-agama tersebut dapat dikategorikan pada ”aliran kepercayaan” yang keberadaannya diakui di Indonesia. Jadi harus difahami bahwa di Indonesia boleh tidak beragama (yang diakui Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha) namun percaya kepada Tuhan kepada Tuhan Yang Maha Esa (jadi di Indonesia tidak boleh atheis atau tidak percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa).

Apabila melangsungkan perkawinan tidak menurut agama yang diakui seperti tersebut di atas, apabila anak lahir, maka anak yang lahir tersebut bukan sebagai anak yang sah. Menurut saya (penulis) hal ini merupakan kekeliruan besar yang tidak mencerminkan perlindungan hukum/Hak Asasi Manusia. Tindakan-tindakan ini tidak mencerminkan rasa keadilan (sense of justice), sebab bersifat diskriminatif (diskriminasi). Anak terpaksa berstatus anak luar kawin (tidak sah), padahal sudah dilangsungkan menurut kepercayaan yang dianut. Secara psikologis, hal ini mempengaruhi perkembangan anak, karena statusnya sebagai anak luar kawin/tidak sah. Dapat juga dikatakan bahwa anak menjadi korban/viktim secara struktural yaitu korban dari ketidaktegasan dan ketidakfahaman para aparatur pemerintah (Kantor Catatan Sipil/Dinas Kependudukan). Hal ini sangat jelas bertentangan juga dengan prinsip perlindungan anak, karena tindakan-tindakan tersebut secara psikologis dapat menghambat pertumbuhan anak. Anak luar kawin adalah anak yang lahir yang tidak didasarkan atas suatu perkawinan (yang sah). Anak tidak sah dalam doktrin, dibedakan antara anak zinah, anak sumbang dan anak luar kawin.


Penutup


Hak negara untuk mengatur dalam rangka kebijakan sosial (social policy), baik dalam bentuk kebijakan kesejahteraan sosial (social welfare policy) maupun kebijakan keamanan sosial (social defence policy). Negara berhak mengatur restriksi dan limitasi kekuasaan, untuk menjaga agar pengaturan tersebut tetap dalam keseimbangan, keselarasan dan keserasian antara kepentingan negara, kepentingan masyarakat dan kepentingan pribadi.

Rambu-rambu pengaturan terbentuk dalam asas-asas hukum, yang mempunyai karakteristik antara lain: a. Merupakan rasa susila dan berasal dari kesadaran hukum atau keyakinan kesusilaan masyarakat; b. Dipositifkan baik dalam bentuk perundang-undangan maupun yurisprudensi; c. Artikulasi dan penjabaran asas-asas hukum tergantung dari kondisi-kondisi sosial, sehingga open-ended, multi-interpretable dan dipengaruhi oleh perkembangan sosial dan bukannya bersifat absolut; d. Berkedudukan lebih tingggi dari pejabat-pejabat resmi (penguasa).



Tidak ada komentar: