Selasa, 30 Desember 2008

LEMAHNYA PENEGAKAN HUKUM: PEMICU KEKERASAN TERHADAP ANAK?

LEMAHNYA PENEGAKAN HUKUM:

PEMICU KEKERASAN TERHADAP ANAK?

Kekerasan sering terjadi terhadap anak. Kekerasan bersifat merusak, berbahaya dan menakutkan terhadap anak, dan anak yang menjadi korban kekerasan menderita kerugian, tidak saja bersifat material, tetapi juga bersifat immaterial seperti goncangan emosional dan psikologis (yang langsung atau tidak langsung), yang dapat mempengaruhi kehidupan masa depan anak. Pelaku tindak kekerasan terhadap anak bisa saja orang tua (ayah dan atau ibu korban), anggota keluarga, masyarakat dan bahkan pemerintah sendiri (aparat penegak hukum dan lain-lain).

Beberapa peristiwa tindak kekerasan yang dialami anak seperti diberitakan pada berbagai media massa, dapat diketahui bahwa banyak sekali kasus kekerasan terhadap anak, seperti seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Medan, harus meringkuk dalam penjara, akibat perbuatannya yang tidak mau bertanggung jawab menyetubuhi gadis di bawah umur. Perbuatan itu dilakukan terdakwa dengan cara semula berkenalan, merayu korban dan akhirnya terjadi perbuatan tak senonoh, saksi berhasil disetubuhi terdakwa (Majalah Realita, 29 Mei 2002); Like yang masih berusia 11 tahun penduduk Nagori Bandar Kecamatan Bandar, menjadi korban kebuasan 3 remaja ABG, dengan cara menggiliri korban di rumah salah satu remaja tersebut, pada saat orang tuanya tidak ada (Sinar Indonesia Baru, 25 September-1 Oktober 2002); Beginilah jadinya kalau terlalu percaya kepada pacar. Kalau bertanggung jawab masih lumayan, namun bila tidak ke mana akan mengadu, tentu ke kantor polisi, apalagi bila sampai hamil di luar nikah. Demikianlah yang dialami CS (17 tahun), pria yang disayanginya tidak bertanggung jawab (Medan Pos, 7 September 2002); Bocah berumur 5 tahun bernama Ayu, korban pencabulan oleh orang yang tidak dikenal. Korban sedang bermain lalu dipanggil orang yang tidak dikenal tersebut, Ayu langsung mengikuti panggilan dan mengikuti orang itu hingga membawanya ke rumah kosong (Medan Pos, 21 September 2002); Guru Silat sodomi 11 muridnya, keseluruhannya anak laki-laki. Perbuatan ini dilakukan guru silat pada saat sedang latihan (Medan Pos, 29 Juni 2002), Perdagangan orang (trafficking in person) terutama perempuan dan anak semakin meningkat akhir-akhir ini sebagai perbuatan illegal terhadap hak-hak asasi manusia (HAM) dan dapat menimbulkan gangguan fisik, mental, mengakibatkan kerentanan terhadap tindak kekerasan, kehamilan yang tidak dikehendaki serta infeksi penyakit seksual termasuk HIV/AIDS (Waspada, 18 Januari 2004); Seorang Ayah berinisial PS, mencabuli 2 putri kandungnya (berumur 14 dan 10 tahun) di kamar mandi (Medan Pos, 24 Maret 2004); Lukman seorang ayah memperkosa anak kandungnya sejak berusia 12 tahun sampai 17 tahun; Bocah berumur 5 tahun diperkosa ayahnya; di Binjai seorang Abang mencabuli 2 adik kandungnya (Waspada, 4 April 2003); Karena bertengkar, Paman membunuh anak (berusia 18 tahun); di Binjai ayah kandung berinisial “L” membacok 2 anak kandungnya (berusia 15 dan 5 tahun) hingga kritis karena salah seorang anak tersebut tidak mau disuruh memasak bubur untuk makan malam oleh ayahnya. Sementara sang ibu diketahui melarikan diri karena tidak tahan dengan kekejaman L (Waspada, 10 Oktober 2003).

Bentuk kekerasan terhadap anak yang paling banyak kasusnya adalah pemerkosaan dan pelecehan seksual, kasus ini dari tahun ke tahun juga semakin meningkat, hal ini mengindikasikan bahwa moral masyarakat semakin lama semakin merosot.

Penegakan Hukum

Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberikan manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum, keadilan diperhatikan. Perlu difahami bahwa kualitas pembangunan dan penegakkan hukum yang dituntut masyarakat saat ini bukan sekedar kualitas formal, tetapi adalah kualitas materil/substansial. Kemudian, strategi sasaran pembangunan dan penegakan hukum, harus ditujukan pada kualitas substantif seperti terungkap dalam beberapa isu sentral yang dituntut masyarakat saat ini, yaitu antara lain: a. adanya perlindungan HAM; b. tegaknya nilai kebenaran, kejujuran, keadilan, dan kepercayaan antar sesama; c. tidak ada penyalahgunaan kekuasaan/kewenangan; d. bersih dari praktik pavoritisme (pilih kasih), korupsi, kolusi, dan nepotisme dan mafia peradilan; e. terwujudnya kekuasaan kehakiman/penegakan hukum yang merdeka dan tegaknya kode etik/kode profesi; f. adanya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Peranan hukum dalam masyarakat yanag bebas ialah to enforce the truth and justice, yakni penegakkan kebanran dan menegakkan keadilan. Hal ini dapat terwujud bila penegakan hukum dilakukan tanpa pilih kasih yang tidak ada diskriminasi dan tidak bersifat berat sebelah atau imparsial. Penegakan hukum juga dilakukan tidak bertentangan dengan kebutuhan, kesadaran dan ketertiban masyarakat.

Berkaitan dengan kekerasan terhadap anak, peraturan perundang-undangan yang dapat diterapkan di samping KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana), juga ada UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU No. 22 Tahun 2004 tentang Pencegahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Melihat perangkat hukum ini, yang mengatur bahwa terhadap pelaku tindak kekerasan terhadap anak terdapat sanksi yang berat, sehingga pelaku jera dan orang lain tidak melakukan perbuatan yang sama. Namun harapan itu sampai sekarang masih sebatas “harapan dalam mimpi” dan persoalan-persoalan tentang tindakan-tindakan kekerasan terhadap anak Indonesia khususnya di Sumatera Utara, masih terus berlanjut dan menunjukkan skala yang meningkat pada setiap tahun. Hal ini terjadi karena terhadap para pelaku tindak kekerasan, tidak dipidana berat. Ada pelaku tindak kekerasan terhadap anak hanya dijatuhi pidana penjara di bawah 1 tahun, bahkan lebih ringan dari 1 tahun. Menyangkut kekerasan terhadap anak, dapat dilihat tabel berikut.





Kekerasan Terhadap Anak Menurut Bentuk Kekerasan

Tahun 2002-2004


No

Bentuk kekerasan

Tahun 2002

Tahun 2003

Tahun 2004

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

  1. 1

Perkosaan

41

47

51

  1. 2

Pelecehan Seksual

36

42

43

  1. 8

Pembunuhan

11

14

13

  1. 5

Penganiayaan/Sekap

20

18

12

  1. 2

Penculikan

11

8

6

  1. 7

Penipuan/Rayuan/Ingkar Janji

16

13

12


Perampokan/Penodongan

24

18

7


Dijual/Pelacuran/Perdagangan Bayi

12

17

20


Sodomi

5

4

3


Ditelantarkan

6

10

17


Ditembak

-

1

2


Kehamilan tidak diinginkan

17

15

24


Kecelakaan

18

21

21


Anak yang berkonflik dengan hukum

28

34

41

Total Kasus

245

259

272

Sumber data : Lembaga Advokasi Anak Indonesia (LAAI)

Berdasarkan data di kekerasan terhadap anak dari tahun ke tahun semakin meningkat, dimana secara total dalam tahun 2002 terdapat 245 kasus, meningkat menjadi 259 kasus pada tahun 2003 dan kembali meningkat menjadi 272 kasus pada tahun 2004. Kenyataannya kasus-kasus yang belum terungkap masih banyak lagi, terutama kasus-kasus yang terjadi dalam rumah tangga yang biasanya masih ditutupi karena pelakunya adalah pihak keluarga sendiri.

Agar kekerasan terhadap anak dapat dikurangi atau dicegah, penegakan hukum harus dilakukan dengan benar. Hukum harus ditegakkan dan diberlakukan kepada siapa saja. Dalam praktiknya, dalam melakukan penegakan hukum dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum adalah: faktor hukumnya sendiri (undang-undang); faktor penegak hukum yakni pihak-pihak yang membentuk dan menerapkan hukum itu; faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum itu; faktor masyarakat, yaitu lingkungan hukum berlaku diterapkan; faktor kebudayaan, yang lahir dalam pergaulan hidup manusia. Dari beberapa faktor di atas, yang paling penting adalah faktor penegak hukum. Penegak hukum yang utama adalah polisi sebagai penyidik, jaksa sebagai Penuntu Umum, Hakim, Petugas Lembaga Kemasyarakatan. Para penegak hukum diharapkan harus professional, hal ini penting untuk menghindari terjadinya malpraktik di bidang hukum, para penegak hukum yang tidak professional, sering melakukan malpraktik di bidang hukum. Menurut saya, menciptakan para penegak hukum yang profesional, dalam melakukan rekruitmen para penegak hukum (baik polisi, jaksa, hakim, petugas lembaga pemasyarakatan), harus diperhatikan 3 (tiga) hal secara simultan, yaitu: IQ (Intellegence Quotient) atau tingkat kecedasan. Para penegak hukum yang diharapkan adalah yang mempunyai tingkat kecerdasan tertentu. Hal ini berarti bahwa para penegak hukum itu berasal dari kualifikasi pendidikan tertentu pula. Kenyataannya, banyak penegak hukum yang salah menerapkan peraturan perundang-undang dan bahkan tidak mampu memprediksi kemungkinan yang dapat terjadi atas tindakan/keputisan yang diambil, karena keterbatasan kecerdasannya yang dalam hal ini adalah keterbatasan pendidikannya; EQ (Emotional Quotient) atau tingkat kemampuan mengedalikan emosi, yang merupakan kemampuan memahami perasaan orang lian dan kemampuan memilah perasaan sendiri. Kemampuan mengendalikan emosi, merupakan hal penting bagi aparat penegak hukum yang sering berhadapan langsung dengan masyarakat, terutama bila menghadapi amuk massa atau demonstrasi. Intelegensi emosi yang rendah, menimbulkan tindakan-tindakan yang arogan, gegabah; SQ (Spritual Quotient) atau tingkat kemampuan menghayati dan mengamalkan ajaran/nilai-nilai agama. Para penegak hukum yang tidak sungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agamanya, akan mudah tergoada dengan godaan duniawi yang tidak benar, sehingga melakukan tindakan-tindakan yang tidak benar pula.




Tidak ada komentar: