Selasa, 30 Desember 2008

KEPASTIAN HUKUM AKTA KELAHIRAN ANAK

KEPASTIAN HUKUM AKTA KELAHIRAN ANAK

Oleh: Dr. Maidin Gultom, SH, MH.

Pendahuluan

Kepastian hukum merupakan kehendak setiap orang. Dalam mewujudkan kepastian hukum peristiwa-peristiwa yang dialami seseorang (seperti peristiwa kelahiran, perkawinan, perceraian, kematian), akta-akta yang dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil mempunyai kekuatan pasti dan tidak dapat dibantah oleh pihak lain. Akta catatan sipil merupakan bukti yang kuat dan sempurna karena merupakan akta otentik. Dalam hukum ditentukan bahwa akta otentik suatu bukti yang sempurna, yang memastikan perlindungan atas hak-hak seseorang. Akta Catatan Sipil dapat berupa: Akta Perkawinan, Akta Kelahiran, Akta Perceraian, Akta Kematian.

Akta Kelahiran

Pencatatan kelahiran anak, memberikan perlindungan (kepastian hukum) terhadap seorang anak, sekaligus pencatatan kelahiran anak tersebut dimaksudkan untuk menjaga ketertiban dalam masyarakat. Pencatatan kelahiran anak, merupakan pengakuan pertama dari negara atas keberadaan anak. Anak yang tidak dicatat kelahirannya, kehilangan hak yang paling mendasar, yakni hak untuk diakui sebagai subjek hukum, sebab pencatatan kelahiran merupakan “karcis” untuk menjadi warga negara. Tanpa akta kelahiran, seseorang tidak “ada” secara hukum, dengan demikian tidak memiliki akses legal yang memberikannya hak perlindungan sebagai bagian dari suatu bangsa.

Majelis Umum PBB pada tanggal 20 Nopember 1989, telah menyetujui Konvensi Hak-hak Anak, yang diratifikasi oleh Bangsa Indonesia dengan Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990. Salah satu hak anak menurut Konvensi tersebut adalah: hak-hak anak untuk memperoleh identitasnya, termasuk kewarganegaraannya, namanya dan hubungan keluarganya sebagaimana yang diakui oleh undang-undang tanpa campur tangan yang tidak sah. Pasal 53 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 ditentukan bahwa setiap anak sejak kelahirannya berhak atas suatu nama dan status kewarganegaraan. Yang dimaksud dengan “suatu nama” adalah nama sendiri, dan nama orang tua kandung, dan atau nama keluarga, dan atau nama marga. Pasal 55 UU No. 1 Tahun1974, menentukan bahwa asal-usul seseorang hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran yang otentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Jika tidak ada akta, maka pengadilan dapat membuat “penetapan” mengenai asal-usul anak tersebut sebagai “dasar” bagi catatan sipil untuk mengeluarkan akta yang otentik.

Pasal 27 Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, menentukan bahwa (1) Identitas diri setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya; (2) Identitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dituangkan dalam akta kelahiran, (3) Pembuatan akta kelahiran didasarkan pada surat keterangan dari orang yang menyaksikan dan/atau membantu proses kelahiran (4) Dalam hal anak yang proses kelahirannya tidak diketahui, dan orang tuanya tidak diketahui keberadaannya, pembuatan akta kelahiran untuk anak tersebut didasarkan pada keterangan orang yang menemukannya.

Berdasarkan ketentuan Pasal 27 ini, diketahui bahwa identitas seorang anak harus diberikan sejak kelahirannya dan dituangkan dalam akta kelahiran. Berdasarkan Pasal ini, dapat juga diketahui bahwa pencatatan kelahiran anak tidak saja dapat dilakukan terhadap anak sah, tetapi juga anak luar kawin bahkan anak yang proses kelahirannya tidak diketahui, dan orang tuanya tidak diketahui keberadaannya. Hal ini mengindikasikan bahwa anak jalanan atau gepeng (gelandangan pengemis) dapat dicatatkan kelahirannya.

Pasal 28 UU No. 23 Tahun 2002 menentukan bahwa (1) Pembuatan akta kelahiran menjadi tanggung jawab pemerintah yang dalam pelaksanaannya diselenggarakan serendah-rendahnya pada tingkat kelurahan/desa, (2) Pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diajukannya permohonan (3) Pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dikenai biaya, (4) Ketentuan mengenai tata cara dan syarat-syarat pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan peraturan perundang-undangan.

Dari Pasal 28 ini, dapat diketahui bahwa pembuatan akta kelahiran merupakan tanggungjawab pemerintah. Pelaksananya sampai ke tingkat kelurahan/desa. Waktu pembuatan akta kelahiran, paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diajukan permohonan. Pembuatan akta kelahiran adalah gratis artinya tidak dikenai biaya.

Dalam Praktik

Pencatatan kelahiran dalam praktiknya menjadi hal yang problematis di Indonesia, bukan hanya karena berbelit-belit, tetapi juga karena masih banyak masalah-masalah yang dianggap mengganggu, seperti sikap diskriminatif terhadap mereka, yang dipandang sebagai ”yang lain.” Pencatatan kelahiran secara tidak langsung merupakan turunan dari pencatatan perkawinan. Persolannya, ada perkawinan yang tidak bisa dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil/Dinas Kependudukan, karena interpretasi undang-undang yang berbeda, seperti kasus yang dialami para penganut kepercayaan. Mereka tidak bisa memiliki dokumen perkawinan, karena kepercayaannya tidak diakui oleh negara. Hal ini berakibat bahwa meski anak-anaknya bisa mendapatkan akta kelahiran, dianggap bukan berasal dari perkawinan yang sah dan hanya memiliki nama ibu pada aktanya. Mereka yang berasal dari luar nilai-nilai, moral, klan, ideologi yang dominan di negara ini, mengalami berbagai diskriminasi dalam kehidupan masyarakat. Akta kelahiran tanpa menyebut nama ayahnya, menstigmatisasi anak sebagai anak haram. Suatu istilah yang amat keliru, karena anak itu sendiri tidak pernah minta dilahirkan. Pada akta kelahiran juga ada kode-kode tertentu yang diberikan untuk memperlihatkan perbedaan antara pribumi, yang beragama lain di luar agama mayoritas, dan perbedaan yang menyangkut etnis. Peraturan kolonial Belanda (yang masih berlaku) dibuat untuk memudahkan pencatatan administratif (barangkali juga sebagai bagian dari praktik politik memecah belah) antara warga pribumi dan nonpribumi, pribumi muslim dan non-muslim, masih digunakan hingga kini. Kriteria identitas yang masih terus digunakan itu, menyiaratkan diskriminasi suatu sistem pemerintahan yang tak jauh berbeda dengan pemerintah kolonial, dan yang lebih runyam lagi karena ada nuansa politik di baliknya.

Anak yang lahir, statusnya bukan anak sah karena perkawinan yang dilangsungkan bukan menurut agama yang dianut. Menurut saya (penulis) hal ini merupakan kekeliruan besar yang tidak mencerminkan perlindungan hukum/Hak Asasi Manusia yang sama, namun menimbulkan diskrimasi. Anak terpaksa berstatus anak luar kawin (tidak sah), padahal sudah dilangsungkan menurut kepercayaan yang dianut. Secara psikologis, hal ini mempengaruhi perkembangan anak, karena statusnya sebagai anak luar kawin/tidak sah. Hal ini sangat jelas bertentangan juga dengan prinsip perlindungan anak, karena tindakan-tindakan tersebut dapat menghambat pertumbuhan anak, baik secara fisik, mental dan sosial. Hal ini perlu kita sadari bersama dan perlu disikapi demi masa depan generasi bangsa kita. Hukum dibentuk tidak lain untuk kesejahteraan rakyat (kemanfatan) berarti jangan hukum dibentuk membuat kita, anak cucu kita menderita/mengalami kerugian, baik fisik, mental, maupun sosial.

Penutup

Pencatatan kelahiran anak, menghasilkan Akta Kelahiran Anak, yang dapat memberikan kegunaan yang begitu banyak bagi sianak, seperti:

  1. Kenyataannya, tidak banyak orang tahu bahwa pencatatan kelahiran anak sebagai bukti usia kelahiran anak, merupakan langkah utama yang penting dan berguna bagi perlindungan anak dari eksploitasi dan berbagai pelanggaran yang berkaitan dengan usia, seperti dalam rekruitmen tenaga kerja dan lain-lain.

  2. Dalam konteks kehidupan masyarakat dan bernegara, Akta Kelahiran berguna untuk memberi status hukum yang jelas tentang asal usul seseorang, tanpa adanya Akta Kelahiran tersebut, anak akan menemui sejumlah kesulitan di kemudian hari saat tumbuh dewasa, misalnya seperti: sulit masuk sekolah, sulit mencari pekerjaaan, sulit menikah, atau kesulitan ketika menghadapi sengketa pewarisan di pengadilan;

  3. Pencatatan kelahiran berguna bagi pemerintah untuk dijadikan semacam basic tool (perangkat dasar), agar pemerintah dapat bekerja secara efisien dalam merencanakan berbagai hal yang berkaitan dengan kesejahteraan anak, seperti: sekolah, pelayanan kesehatan maupun berbagai jenis pelayanan lain untuk memenuhi kebutuhan warganya.



Tidak ada komentar: