Selasa, 30 Desember 2008

DEALISME PEMIMPIN DALAM ORTONOMI DAERAH

IDEALISME PEMIMPIN DALAM ORTONOMI DAERAH


Dr. Maidin Gultom, SH., MH


Pendahuluan

Dalam kehidupannya, tiap manusia berupaya mewujudkan tujuan hidupnya masing-masing. Karena kodrat kebersamaan dengan sesamanya, segala upaya yang dilakukan manusia itu berlangsung dalam hubungan-hubungan kemasyarakatan. Apabila dua orang atau lebih berkumpul secara bersama-sama akibat adanya persamaan-persamaan tertentu, ataupun karena adanya kepentingan/kebutuhan bersama yang ingin dicapai, ataupun karena suatu situasi tertentu yang memaksa kelompok individu tersebut bergabung sebagai suatu kesatuan, maka akan dijumpai adanya seorang pemimpin di antara mereka.

Gaya kepemimpinan yang terbaik amat tergantung pada: kepribadian individual pemimpin itu sendiri, dengan kemampuannya dalam mengkompromikan kebutuhan-kebutuhan pribadinya dengan tujuan-tujuan organisasinya; para pengikut/bawahan secara individual, macam kepribadian yang mereka miliki, jenis/struktur pekerjaan yang mereka hadapi, serta stimuli yang bersumber dari kebutuhan-kebutuhan pribadi mereka serta lingkungan pekerjaan yang dijalaninya; situasi khusus dalam mana si pemimpin dan pengikut saling berinteraksi, di samping peluang-peluang yang timbul pada setiap saatnya.



Pemimpin Ideal Dalam Otonomi Daerah

Sejak pemerintahan Orde Baru sampai sekarang, berbagai peristiwa dan kasus politik memperlihatkan bahwa cara-cara berpolitik di Indonesia, cenderung menganut paham yang memisahkan realitas politik dari moralitas. Dalam memperebutkan kekuasaan dan jabatan, berbagai kasus korupsi melibatkan pejabat-pejabat tinggi negara. Di tingkat daerah, proses pemilihan gubernur dan bupati/walikota selalu menjadi ajang pertarungan yang menebarkan bau tidak sedap, karena terjadinya money politics. Konsekuensi langsung dari praktik seperti ini ialah semakin jatuhnya ”keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” dari kenyataan. Pada hal sering dinyatakan bahwa politik yang benar harus mengenal rambu-rambu moral, dan bahwa politik sebagai urusan kekuasaan dan kepentingan publik perlu atas ideal-ideal moral.

Kekuasan politik dan pemerintahan dengan panduan dan jiwa moral. Politik tidak lain adalah penataan sistem kehidupan bersama sebagai manusia, dan oleh karena itu martabat luhur manusia harus dijunjung tinggi melalui upaya-upaya yang real untuk menegakkan keadilan demi kesejahteraan bersama. Dengan kata lain, oleh karena politik berurusan dengan hal-hal yang menyangkut cita-cita hidup secara manusiawi dan beradab, maka politik mau tak mau harus mengikuti tuntutan moral. Untuk itu setiap orang, baik kepala pemerintah daerah, para birokrat, dewan legislatif, badan yudikatif, maupun lembaga-lembaga dan warga masyarakat ikut bertanggungjawab dan melaksanakan otonomi daerah, agar berpegang pada etika politik. Hubungan politik dengan etika dalam pelaksanaan otonomi daerah dari perspektif yang pesimis terhadap pusat pemerintahan; Upaya-upaya reformasi pada tingkat nasional hampir tidak menampakkan hasil yang real. Oleh karena itu, reformasi politik menuju politik yang bermoral sebaiknya dicoba dimulai dari daerah melalui pelaksanaan otonomi daerah; dari perspektif yang optimis terhadap otonomi daerah; Menurut hakikat otonomi daerah, penyelenggaraan pemerintahan memerlukan etika politik karena otonomi daerah mengandung idealisme mengenai demokrasi, pengakuan terhadap hak asasi manusia, dan tegaknya keadilan sosial. Jadi, esensi otonomi daerah memang mendorong politik Indonesia ke arah cara berpolitik yang bermoral; dari perspektif pengalaman mengenai politik di era otonomi daerah; Etika politik perlu disuarakan terutama dari sisi rakyat kelas ekonomi lemah yang selama ini menjadi korban permainan politik kepentingan. Jadi, etika politik menjadi relevan dan mendesak karena nilai Pancasila tentang ”keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” masih belum menjadi kenyataan.

Tujuan utama dari kebijakan mengenai desentralisasi ialah ”membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan domestik. Dengan ini, dimaksudkan agar pemerintah pusat dapat berkonsentrasi pada perkara yang secara strategis penting bagi negara sebagai suatu kesatuan, teristimewa dalam hubungan dengan luar negeri. Selanjutnya desentralisasi sebagai sistem pemencaran kekuasaan dimaksudkan pula sebagai proses pemberdayaan daerah.

Unsur-unsur hakiki dari otonomi daerah adalah: pelaksanaan otonomi daerah dimaksudkan sebagai operasionalisasi dari paradigma baru yang menempatkan pembangunan dalam bingkai pelayanan kepada masyarakat. Pembangunan tidak mempunyai nilai intrinsik yang mutlak, karena coraknya sebagai instrumen bagi pemerintah untuk melaksanakan salah satu fungsi fundamentalnya, yakni memberikan pelayanan (service) kepada masyarakat; karena pembangunan hanya bermakna dalam bingkai pelayanan publik, maka rakyat dan kepentingannya tidak lagi boleh dijadikan ”korban pembangunan”. Pembangunan harus secara adil melayani kepentingan rakyat; sistem pemerintahan perlu mencerminkan sistem pelayanan yang berkeadilan kepada masyarakat. Otonomi daerah diyakini sebagai sistem pemerintahan perlu mencerminkan sistem pelayanan yang berkeadilan kepada masyarakat. Otonomi daerah diyakini sebagai sistem pemerintahan yang mengondisikan dilaksanakannya pelayanan yang optimal di seluruh wilayah negara; pelaksanaan otonomi daerah merupakan kebijakan untuk mengembalikan harga diri pemerintah dan masyarakat daerah. Dalam konteks ini, paradigma pemberdayaan mendapatkan maknanya yang hakiki.

Dalam perspektif hakikat dan visi otonomi daerah tersebut, dapat dirumuskan 3 (tiga) ruang lingkup utama pelaksanaan otonomi daerah, yaitu: Pertama, dalam bidang politik, otonomi daerah berarti proses desentralisasi dan serentak demokratisasi. Konkritnya, otonomi daerah membuka pintu bagi rakyat daerah untuk secara langsung dan demokratis memilih kepala pemerintahan daerah. Kedua, dalam bidang ekonomi, otonomi daerah mengandung beberapa makna. Di satu pihak, otonomi daerah merupakan upaya untuk merumuskan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Di samping itu, otonomi daerah memberikan kesempatan bagi pemerintah daerah untuk menentukan kebijakan regional dalam mengelola dan mendayagunakan secara optimal potensi-potensi ekonomi daerah; Ketiga, dalam bidang sosial budaya, otonomi daerah merupakan proses pengelolaan masyarakat daerah sedemikian rupa sehingga harmoni sosial tetap terpelihara, termasuk dalam mengelola kemajemukan dan konflik yang terjadi dimasing-msing daerah. Selain itu, melalui pelaksanaan otonomi daerah, nilai budaya lokal dimekarkan sebagai identitas yang dibanggakan, tentu dengan semangat inklusif, bukan eksklusif. Otonomi daerah dapat juga mengkondisikan terbentuknya pusat-pusat kultural di daerah, bukan di pusat saja. Hal ini sesuai benar dengan semboyan bhinneka tunggal ika.


Penutup

Prinsip rule of law diartikan ‘good gavernance’ mempunyai karakteristik berupa jaminan kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat terhadap setiap kebijakan publik yang dibuat dan dilaksanakan. Pemerintah yang baik, merupakan pemerintah yang mampu mempertanggungjawabkan segala sikap, perilaku dan kebijakan yang dibuat secara politik, hukum maupun ekonomi dan diinformasikan secara terbuka kepada publik, serta membuka kesempatan publik untuk melakukan pengawasan (control) dan jika dalam praktiknya telah merugikan kepentingan rakyat, dengan demikian harus mampu mempertanggungjawabkan dan menerima tuntutan hukum atas tindakan tersebut.


Tidak ada komentar: