Selasa, 30 Desember 2008

DEALISME PEMIMPIN DALAM ORTONOMI DAERAH

IDEALISME PEMIMPIN DALAM ORTONOMI DAERAH


Dr. Maidin Gultom, SH., MH


Pendahuluan

Dalam kehidupannya, tiap manusia berupaya mewujudkan tujuan hidupnya masing-masing. Karena kodrat kebersamaan dengan sesamanya, segala upaya yang dilakukan manusia itu berlangsung dalam hubungan-hubungan kemasyarakatan. Apabila dua orang atau lebih berkumpul secara bersama-sama akibat adanya persamaan-persamaan tertentu, ataupun karena adanya kepentingan/kebutuhan bersama yang ingin dicapai, ataupun karena suatu situasi tertentu yang memaksa kelompok individu tersebut bergabung sebagai suatu kesatuan, maka akan dijumpai adanya seorang pemimpin di antara mereka.

Gaya kepemimpinan yang terbaik amat tergantung pada: kepribadian individual pemimpin itu sendiri, dengan kemampuannya dalam mengkompromikan kebutuhan-kebutuhan pribadinya dengan tujuan-tujuan organisasinya; para pengikut/bawahan secara individual, macam kepribadian yang mereka miliki, jenis/struktur pekerjaan yang mereka hadapi, serta stimuli yang bersumber dari kebutuhan-kebutuhan pribadi mereka serta lingkungan pekerjaan yang dijalaninya; situasi khusus dalam mana si pemimpin dan pengikut saling berinteraksi, di samping peluang-peluang yang timbul pada setiap saatnya.



Pemimpin Ideal Dalam Otonomi Daerah

Sejak pemerintahan Orde Baru sampai sekarang, berbagai peristiwa dan kasus politik memperlihatkan bahwa cara-cara berpolitik di Indonesia, cenderung menganut paham yang memisahkan realitas politik dari moralitas. Dalam memperebutkan kekuasaan dan jabatan, berbagai kasus korupsi melibatkan pejabat-pejabat tinggi negara. Di tingkat daerah, proses pemilihan gubernur dan bupati/walikota selalu menjadi ajang pertarungan yang menebarkan bau tidak sedap, karena terjadinya money politics. Konsekuensi langsung dari praktik seperti ini ialah semakin jatuhnya ”keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” dari kenyataan. Pada hal sering dinyatakan bahwa politik yang benar harus mengenal rambu-rambu moral, dan bahwa politik sebagai urusan kekuasaan dan kepentingan publik perlu atas ideal-ideal moral.

Kekuasan politik dan pemerintahan dengan panduan dan jiwa moral. Politik tidak lain adalah penataan sistem kehidupan bersama sebagai manusia, dan oleh karena itu martabat luhur manusia harus dijunjung tinggi melalui upaya-upaya yang real untuk menegakkan keadilan demi kesejahteraan bersama. Dengan kata lain, oleh karena politik berurusan dengan hal-hal yang menyangkut cita-cita hidup secara manusiawi dan beradab, maka politik mau tak mau harus mengikuti tuntutan moral. Untuk itu setiap orang, baik kepala pemerintah daerah, para birokrat, dewan legislatif, badan yudikatif, maupun lembaga-lembaga dan warga masyarakat ikut bertanggungjawab dan melaksanakan otonomi daerah, agar berpegang pada etika politik. Hubungan politik dengan etika dalam pelaksanaan otonomi daerah dari perspektif yang pesimis terhadap pusat pemerintahan; Upaya-upaya reformasi pada tingkat nasional hampir tidak menampakkan hasil yang real. Oleh karena itu, reformasi politik menuju politik yang bermoral sebaiknya dicoba dimulai dari daerah melalui pelaksanaan otonomi daerah; dari perspektif yang optimis terhadap otonomi daerah; Menurut hakikat otonomi daerah, penyelenggaraan pemerintahan memerlukan etika politik karena otonomi daerah mengandung idealisme mengenai demokrasi, pengakuan terhadap hak asasi manusia, dan tegaknya keadilan sosial. Jadi, esensi otonomi daerah memang mendorong politik Indonesia ke arah cara berpolitik yang bermoral; dari perspektif pengalaman mengenai politik di era otonomi daerah; Etika politik perlu disuarakan terutama dari sisi rakyat kelas ekonomi lemah yang selama ini menjadi korban permainan politik kepentingan. Jadi, etika politik menjadi relevan dan mendesak karena nilai Pancasila tentang ”keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” masih belum menjadi kenyataan.

Tujuan utama dari kebijakan mengenai desentralisasi ialah ”membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan domestik. Dengan ini, dimaksudkan agar pemerintah pusat dapat berkonsentrasi pada perkara yang secara strategis penting bagi negara sebagai suatu kesatuan, teristimewa dalam hubungan dengan luar negeri. Selanjutnya desentralisasi sebagai sistem pemencaran kekuasaan dimaksudkan pula sebagai proses pemberdayaan daerah.

Unsur-unsur hakiki dari otonomi daerah adalah: pelaksanaan otonomi daerah dimaksudkan sebagai operasionalisasi dari paradigma baru yang menempatkan pembangunan dalam bingkai pelayanan kepada masyarakat. Pembangunan tidak mempunyai nilai intrinsik yang mutlak, karena coraknya sebagai instrumen bagi pemerintah untuk melaksanakan salah satu fungsi fundamentalnya, yakni memberikan pelayanan (service) kepada masyarakat; karena pembangunan hanya bermakna dalam bingkai pelayanan publik, maka rakyat dan kepentingannya tidak lagi boleh dijadikan ”korban pembangunan”. Pembangunan harus secara adil melayani kepentingan rakyat; sistem pemerintahan perlu mencerminkan sistem pelayanan yang berkeadilan kepada masyarakat. Otonomi daerah diyakini sebagai sistem pemerintahan perlu mencerminkan sistem pelayanan yang berkeadilan kepada masyarakat. Otonomi daerah diyakini sebagai sistem pemerintahan yang mengondisikan dilaksanakannya pelayanan yang optimal di seluruh wilayah negara; pelaksanaan otonomi daerah merupakan kebijakan untuk mengembalikan harga diri pemerintah dan masyarakat daerah. Dalam konteks ini, paradigma pemberdayaan mendapatkan maknanya yang hakiki.

Dalam perspektif hakikat dan visi otonomi daerah tersebut, dapat dirumuskan 3 (tiga) ruang lingkup utama pelaksanaan otonomi daerah, yaitu: Pertama, dalam bidang politik, otonomi daerah berarti proses desentralisasi dan serentak demokratisasi. Konkritnya, otonomi daerah membuka pintu bagi rakyat daerah untuk secara langsung dan demokratis memilih kepala pemerintahan daerah. Kedua, dalam bidang ekonomi, otonomi daerah mengandung beberapa makna. Di satu pihak, otonomi daerah merupakan upaya untuk merumuskan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Di samping itu, otonomi daerah memberikan kesempatan bagi pemerintah daerah untuk menentukan kebijakan regional dalam mengelola dan mendayagunakan secara optimal potensi-potensi ekonomi daerah; Ketiga, dalam bidang sosial budaya, otonomi daerah merupakan proses pengelolaan masyarakat daerah sedemikian rupa sehingga harmoni sosial tetap terpelihara, termasuk dalam mengelola kemajemukan dan konflik yang terjadi dimasing-msing daerah. Selain itu, melalui pelaksanaan otonomi daerah, nilai budaya lokal dimekarkan sebagai identitas yang dibanggakan, tentu dengan semangat inklusif, bukan eksklusif. Otonomi daerah dapat juga mengkondisikan terbentuknya pusat-pusat kultural di daerah, bukan di pusat saja. Hal ini sesuai benar dengan semboyan bhinneka tunggal ika.


Penutup

Prinsip rule of law diartikan ‘good gavernance’ mempunyai karakteristik berupa jaminan kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat terhadap setiap kebijakan publik yang dibuat dan dilaksanakan. Pemerintah yang baik, merupakan pemerintah yang mampu mempertanggungjawabkan segala sikap, perilaku dan kebijakan yang dibuat secara politik, hukum maupun ekonomi dan diinformasikan secara terbuka kepada publik, serta membuka kesempatan publik untuk melakukan pengawasan (control) dan jika dalam praktiknya telah merugikan kepentingan rakyat, dengan demikian harus mampu mempertanggungjawabkan dan menerima tuntutan hukum atas tindakan tersebut.


TEMBAK MATI DI TEMPAT KORUPTOR

TEMBAK MATI DI TEMPAT KORUPTOR

Oleh: Dr. Maidin Gultom, SH, MH

Pendahuluan

Perkembangan kualitas tindak pidana atau kejahatan menunjukkan bahwa batas-batas territorial antara satu Negara dan Negara lain di dunia, baik dalam satu kawasan maupun berbeda kawasan sudah semakin menghilang. Pada dewasa ini, hampir dapat dipastikan bahwa semua jenis atau bentuk kejahatan yang dalam hal ini kejahatan (tindak pidana) korupsi, tidak lagi hanya dipandang sebagai yurisdiksi kriminal lebih dari satu atau dua negara sehingga dalam perkembangannya, kemudian telah menimbulkan masalah konflik yurisdiksi yang sangat mengganggu hubungan internasional antar negara yang berkepentingan di dalam kasus tindak pidana yang bersifat lintas batas territorial.

Sebagaimana diketahui bahwa tindak pidana korupsi dapat menimbulkan kejahatan baru seperti tindak pidana pencucian uang (money laundring). Money laundering dapat diistilahkan dengan pancucian uang, pemutihan uang, penyeludupan uang atau pembersihan uang dari hasil transaksi gelap (kotor). Kata money dari money laundering dapat diistilahkan secara beragam. Ada yang menyebut dengan dirty money, hot money, illegal money atau illicit money. Dalam istilah Indonesia juga disebut secara beragam berupa uang kotor, uang haram, uang panas atau uang gelap.

Pencucian uang adalah perbuatan penempatan, mentrasfer, membayarkan, membelanjakan, memhibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud meyembunyikan, atau menyamarkan asal-usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan yang sah. Pencucian uang atau money laundering adalah rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang haram yaitu uang yang berasal dari tindak pidana, dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan tindakan terhadap tindak pidana, dengan cara antara lain dan terutama memasukkan uang tersebut kedalam sistim keuangan (financial system) sehingga uang tersebut kemudian dapat dikeluarkan dari sistim keuangan itu sebagai uang yang halal.

Koruptor adalah nama keren dari orang-orang yang melakukan korupsi. Korupsi merupakan suatu perbuatan yang digolongkan pada perbuatan pidana atau tindak pidana atau kejahatan. Jadi koruptor adalah penjahat, seperti penggarong, pencuri, pemeras, penipu, dan penjahat-penjahat lainnya.

Korupsi, dapat terjadi bila pelaku atau perbuatan itu berkaitan dengan unsur-unsur negara dan atau unsur-unsur masyarakat (menyangkut keuangan negara dan atau keuangan masyarakat). Seperti perbuatan yang dilakukan oleh pegawai negeri, pegawai BUMN (Badan Usaha Milik Negara)/BUMD (Badan Usaha Milik Daerah), pegawai bank swasta, pegawai koperasi, dan lain-lain. Korupsi sangat berbahaya dalam kehidupan bernegara dan dalam kehidupan bermasyarakat.

Kasus korupsi, bukan barang baru bahkan sudah mengakar dan bahkan dapat dikatakan sudah mendarah daging. Karena korupsi dapat terjadi di instansi-instansi baik instansi kering maupun pada instansi basah, bahkan di Departemen Agamapun yang mengurusi hubungan-hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, terjadi korupsi. Dalam kenyataan, sering para pelaku korupsi (koruptor) dan keluarganyan seolah-olah tidak bersalah dan tidak merasa malu menikmati fasilitas-fasilitas hasil korupsi. Muka tembok, kata yang tepat bagi mereka.


Tembak Mati di Tempat

Mengapa masalah korupsi tidak pernah selesai bahkan merambah ke mana-mana?

Para pengambil kebijakan di Republik ini, telah berkali-kali menaikkan gaji pegawai negeri sipil. Di samping itu telah diadakan beberapa kali perubahan peratutan perundang-undangan tentang tindak pidana korupsi. Hukuman (pidana) semakin diperberat. Bahkan Ketua MUI pernah mengeluarkan anjuran agar mayat para koruptor tidak dimandikan dan tidak disembahyangkan. Korupsi tetap saja terjadi.

Presiden, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah mengatakan bahwa beliau merasa malu dalam suatu pertemuan kepala-kepala negara di luar negeri, mengingat Negara Indonesia adalah termasuk negara yang terkorup di dunia. Beliau berharap agar korupsi di Indonesia ditangani dengan serius, agar tidak merasa malu lagi untuk kedua kalinya dalam pertemuan yang sama. Presiden mulai dengan gencarnya menangkap dan mengadili para koruptor, dan dijatuhi pidana melalui lembaga peradilan yang ada. Yakinkah anda korupsi akan dapat diatasi di Indonesia, dan apakah penanganannya telah sesuai dengan yang diharapkan? Lalu sampai kapan? Apakah selama pemerintahan Presiden SBY? Bagaimana bila pemerintahan SBY berakhir, korupsi akan tetap ditangani juga? Pertanyaan-pertanyaan yang muncul kemudian. Jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut berbeda-beda, karena pasti jawaban tidak lepas dari sudut mana memandangnya, kemampuan berfikir yang berbeda, kehalusan budi nurani yang berbeda, kepentingan yang berbeda, dan banyak perbedaan-perbedaan lainnya.

Saya punya konsep tentang pemberantasan korupsi di Indonesia, dan konsep ini mestinya dituangkan dalam peraturan peundang-undangan, yang dalam hal ini Undang-Undang (UU). Korupsi di Indonesia bisa diatasi bila diberlakukan tindakan ”tembak mati di tempat” bagi para koruptor oleh para eksekutor yang dibentuk oleh pemerintah, dan tidak perduli: di mana dia berada (ditemukan), seperti di: kantornya atau di jalan raya, di plaza, rumahnya, atau sedang manjat pohon, berduaan dengan istri gelapnya; juga tidak perduli jumlah uang yang dikorupsinya, sepeserpun yang dikorupsi, tetap tembak di tempat.

Dalam peraturan perundang-undangan diatur langkah-langkah tindakan yang diambil oleh Presiden, yaitu: Pertama-tama Presiden mengumumkan bahwa sampai detik ini (tanggal .....bulan........tahun ......pukul: ........WIB/....../WITeng/......WIT) korupsi di Indonesia dianggap tidak ada (bersih), sehingga kemudian semua orang yang ditahan, disangka, didakwa, dipidana karena korupsi dibebaskan. Tetapi dengan konsekuensi apabila besok terdapat tindakan korupsi.....tembak mati di tempat. Atau dapat diperlunak, bahwa setelah mendapat keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, semua koruptor dihukum tembak mati. Jadi tidak dikenakan pidana penjara atau jenis pidana lainnya.

Saya yakin, korupsi di Indonesia tidak ada, dengan kata lain Negara Indonesia bersih dari tindak pidana korupsi. Bagaimana menurut Saudara?


Penutup

Kualitas pembangunan dan penegakan hukum yang dituntut masyarakat saat ini bukan sekedar kualitas formal, tetapi terutama kualitas materil/substansial. Strategi sasaran pembangunan hukum harus ditujukan pada kualitas substansif seperti terungkap dalam beberapa isu sentral yang dituntut masyarakat saat ini, yaitu antara lain: tegaknya nilai keadilan, kebenaran, kejujuran, dan kepercayaan antar sesama; tegaknya nilai-nilai kemanusiaan yang beradab dan penghargaan dan perlindungan HAM; tidak adanya penyalahgunaan kekuasaan/kewenangan; tidak adanya praktik favoritisme dan korupsi, kolusi dan nepotisme. Supremasi hukum mengandung makna supremasi nilai, berarti harus dijunjung tinggi nilai-nilai substansial di atas.


KEBIJAKAN HUKUM ATAS HAK IDENTITAS ANAK

KEBIJAKAN HUKUM ATAS HAK IDENTITAS ANAK


Oleh:

Dr. Maidin Gultom, S.H., M.H.


Pasal 53 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 ditentukan bahwa setiap anak sejak kelahirannya berhak atas suatu nama dan status kewarganegaraan. Yang dimaksud dengan “suatu nama” adalah nama sendiri, dan nama orang tua kandung, dan atau nama keluarga, dan atau nama marga. Pasal 55 UU No. 1 Tahun1974, menentukan bahwa asal-usul seseorang hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran yang otentik, yang dikeluarkan oleh pelabat yang berwenang. Jika tidak ada akte maka pengadilan dapat membuat “penetapan” mengenai asal-usul anak tersebut sebagai “dasar” bagi catatan sipil untuk mengeluarkan akta yang otentik.

Pasal 27 Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, menentukan bahwa (1) Identitas diri setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya; (2) Identitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dituangkan dalam akta kelahiran, (3) Pembuatan akta kelahiran didasarkan pada surat keterangan dari orang yang menyaksikan dan/atau membantu proses kelahiran (4) Dalam hal anak yang proses kelahirannya tidak diketahui, dan orang tuanya tidak diketahui keberadaannya, pembuatan akta kelahiran untuk anak tersebut didasarkan pada keterangan orang yang menemukannya. Berdasarkan ketentuan Pasal 27 ini, dapat diketahui bahwa identitas seorang anak harus diberikan sejak kelahirannya dan dituangkan dalam akta kelahiran. Berdasarkan Pasal ini, dapat juga diketahui bahwa pencatatan kelahiran anak tidak saja dapat dilakukan terhadap anak sah, tetapi juga anak luar kawin bahkan anak yang proses kelahirannya tidak diketahui, dan orang tuanya tidak diketahui keberadaannya. Hal ini mengindikasikan bahwa anak jalanan atau gepeng (gelandangan pengemis) dapat dicatatkan kelahirannya.

Pasal 28 UU No. 23 Tahun 2002 menentukan bahwa (1) Pembuatan akta kelahiran menjadi tanggung jawab pemerintah yang dalam pelaksanaannya diselenggarakan serendah-rendahnya pada tingkat kelurahan/desa, (2) Pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diajukannya permohonan (3) Pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dikenai biaya, (4) Ketentuan mengenai tata cara dan syarat-syarat pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan peraturan perundang-undangan. Dari Pasal 28 ini, dapat diketahui bahwa pembuatan akta kelahiran merupakan tanggungjawab pemerintah. Pelaksananya sampai ke tingkat kelurahan/desa. Waktu pembuatan akta kelahiran, paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diajukan permohonan. Pembuatan akta kelahiran adalah gratis artinya tidak dikenai biaya.


Kegunaan

Pencatatan kelahiran anak, menghasilkan Akta Kelahiran Anak, yang merupakan dokumen resmi (otentik) yang dapat memberikan kegunaan yang begitu banyak bagi sianak, seperti:

  1. Kenyataannya, banyak orang tahu bahwa pencatatan kelahiran anak sebagai bukti usia kelahiran anak, merupakan langkah utama yang penting dan berguna bagi perlindungan anak dari eksploitasi dan berbagai pelanggaran yang berkaitan dengan usia, termasuk perekrutan untuk menjadi anggota militer, keterlibatan anak di dalam konflik bersenjata, perlindungan terhadap buruh anak dan pernikahan dini.

  2. Dalam konteks kehidupan masyarakat dan bernegara Akta Kelahiran berguna untuk memberi status hukum yang jelas tentang asal usul seseorang, tanpa adanya Akta Kelahiran tersebut, anak akan menemui sejumlah kesulitan di kemudian hari saat tumbuh dewasa, misalnya seperti: sulit masuk sekolah, sulit mencari pekerjaaan, sulit menikah, atau kesulitan ketika menghadapi sengketa pewarisan di pengadilan;

  3. Pencatatan kelahiran berguna bagi pemerintah untuk dijadikan semacam basic tool (perangkat dasar), agar pemerintah dapat bekerja secara efisien dalam merencanakan berbagai hal yang berkaitan dengan kesejahteraan anak, seperti: sekolah, pelayanan kesehatan maupun berbagai jenis pelayanan lain untuk memenuhi kebutuhan warganya.

Pencatatan kelahiran anak, memberikan keadilan terhadap anak, sebab memperoleh perlindungan hak menurut hukum. Implementasi hak-hak anak menciptakan keadilan. Pelanggaran terhadap hak-hak anak merupakan ketidakadilan yang dapat dikenakan sanksi kepada pelanggarnya. Pencatatan kelahiran merupakan dasar hukum bagi pemerintah untuk menjamin pelaksanaan hak-hak anak.

Praktik

Dalam praktiknya, pencatatan kelahiran menjadi hal yang problematis di Indonesia, bukan hanya karena berbelit-belit, tetapi juga karena masih banyak masalah-masalah yang dianggap mengganggu, seperti sikap diskriminatif terhadap mereka, yang dipandang sebagai ”yang lain.” Pencatatan kelahiran secara tidak langsung merupakan turunan dari pencatatan perkawinan. Persolannya, ada perkawinan yang tidak bisa dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil/Dinas Kependudukan, karena interpretasi undang-undang yang berbeda, seperti kasus yang dialami para penganut kepercayaan. Mereka tidak bisa memiliki dokumen perkawinan, karena kepercayaannya tidak diakui oleh negara. Hal ini berakibat bahwa meski anak-anaknya bisa mendapatkan akta kelahiran, dianggap bukan berasal dari perkawinan yang sah dan hanya memiliki nama ibu pada aktanya. Mereka yang berasal dari luar nilai-nilai, moral, klan ideologi yang dominan di negara ini, mengalami berbagai diskriminasi dalam kehidupan masyarakat. Akta kelahiran tanpa menyebut nama ayahnya, menstigmatisasi anak sebagai anak haram. Suatu istilah yang amat keliru, karena anak itu sendiri tidak pernah minta dilahirkan. Pada akta kelahiran juga ada kode-kode tertentu yang diberikan untuk memperlihatkan perbedaan antara pribumi yang beragama lain di luar agama mayoritas, dan perbedaan yang menyangkut etnis. Staatsblad 1920 dan Staatsblad 1933 yang dibuat pemerintah kolonial untuk memudahkan pencatatan administratif (barangkali juga sebagai bagian dari praktik politik memecah belah) antara warga pribumi dan nonpribumi, pribumi muslim dan non-muslim, masih digunakan hingga kini. Kriteria identitas yang masih terus digunakan itu menyiratkan diskriminasi suatu sistem pemerintahan yang tak jauh berbeda dengan pemerintah kolonial terhadap warga di wilayah jajahan. Lebih runyam lagi karena ada nuansa politik di balik itu semua.

Anak yang lahir, statusnya bukan anak sah karena perkawinan yang dilangsungkan bukan menurut agama yang dianut. Menurut saya hal ini merupakan kekeliruan besar yang tidak mencerminkan perlindungan hukum/Hak Asasi Manusia yang sama, namun menimbulkan diskrimasi. Anak terpaksa berstatus anak luar kawin (tidak sah), padahal sudah dilangsungkan menurut kepercayaan yang dianut. Secara psikologis, hal ini mempengaruhi perkembangan anak, karena statusnya sebagai anak luar kawin/tidak sah. Dapat juga dikatakan bahwa anak menjadi korban/viktim secara struktural yaitu korban dari ketidaktegasan dan ketidakfahaman para aparatur pemerintah (Dinas Kependudukan). Hal ini sangat jelas bertentangan juga dengan prinsip perlindungan anak, karena tindakan-tindakan tersebut dapat menghambat pertumbuhan anak, baik secara fisik, mental dan sosial. Hal ini perlu kita sadari bersama dan perlu disikapi demi masa depan generasi bangsa kita. Hukum dibentuk tidak lain untuk kesejahteraan rakyat (kemanfatan) berarti jangan hukum dibentuk membuat kita, anak cucu kita menderita/mengalami kerugian, baik fisik, mental, maupun sosial.

LEMAHNYA PENEGAKAN HUKUM: PEMICU KEKERASAN TERHADAP ANAK?

LEMAHNYA PENEGAKAN HUKUM:

PEMICU KEKERASAN TERHADAP ANAK?

Kekerasan sering terjadi terhadap anak. Kekerasan bersifat merusak, berbahaya dan menakutkan terhadap anak, dan anak yang menjadi korban kekerasan menderita kerugian, tidak saja bersifat material, tetapi juga bersifat immaterial seperti goncangan emosional dan psikologis (yang langsung atau tidak langsung), yang dapat mempengaruhi kehidupan masa depan anak. Pelaku tindak kekerasan terhadap anak bisa saja orang tua (ayah dan atau ibu korban), anggota keluarga, masyarakat dan bahkan pemerintah sendiri (aparat penegak hukum dan lain-lain).

Beberapa peristiwa tindak kekerasan yang dialami anak seperti diberitakan pada berbagai media massa, dapat diketahui bahwa banyak sekali kasus kekerasan terhadap anak, seperti seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Medan, harus meringkuk dalam penjara, akibat perbuatannya yang tidak mau bertanggung jawab menyetubuhi gadis di bawah umur. Perbuatan itu dilakukan terdakwa dengan cara semula berkenalan, merayu korban dan akhirnya terjadi perbuatan tak senonoh, saksi berhasil disetubuhi terdakwa (Majalah Realita, 29 Mei 2002); Like yang masih berusia 11 tahun penduduk Nagori Bandar Kecamatan Bandar, menjadi korban kebuasan 3 remaja ABG, dengan cara menggiliri korban di rumah salah satu remaja tersebut, pada saat orang tuanya tidak ada (Sinar Indonesia Baru, 25 September-1 Oktober 2002); Beginilah jadinya kalau terlalu percaya kepada pacar. Kalau bertanggung jawab masih lumayan, namun bila tidak ke mana akan mengadu, tentu ke kantor polisi, apalagi bila sampai hamil di luar nikah. Demikianlah yang dialami CS (17 tahun), pria yang disayanginya tidak bertanggung jawab (Medan Pos, 7 September 2002); Bocah berumur 5 tahun bernama Ayu, korban pencabulan oleh orang yang tidak dikenal. Korban sedang bermain lalu dipanggil orang yang tidak dikenal tersebut, Ayu langsung mengikuti panggilan dan mengikuti orang itu hingga membawanya ke rumah kosong (Medan Pos, 21 September 2002); Guru Silat sodomi 11 muridnya, keseluruhannya anak laki-laki. Perbuatan ini dilakukan guru silat pada saat sedang latihan (Medan Pos, 29 Juni 2002), Perdagangan orang (trafficking in person) terutama perempuan dan anak semakin meningkat akhir-akhir ini sebagai perbuatan illegal terhadap hak-hak asasi manusia (HAM) dan dapat menimbulkan gangguan fisik, mental, mengakibatkan kerentanan terhadap tindak kekerasan, kehamilan yang tidak dikehendaki serta infeksi penyakit seksual termasuk HIV/AIDS (Waspada, 18 Januari 2004); Seorang Ayah berinisial PS, mencabuli 2 putri kandungnya (berumur 14 dan 10 tahun) di kamar mandi (Medan Pos, 24 Maret 2004); Lukman seorang ayah memperkosa anak kandungnya sejak berusia 12 tahun sampai 17 tahun; Bocah berumur 5 tahun diperkosa ayahnya; di Binjai seorang Abang mencabuli 2 adik kandungnya (Waspada, 4 April 2003); Karena bertengkar, Paman membunuh anak (berusia 18 tahun); di Binjai ayah kandung berinisial “L” membacok 2 anak kandungnya (berusia 15 dan 5 tahun) hingga kritis karena salah seorang anak tersebut tidak mau disuruh memasak bubur untuk makan malam oleh ayahnya. Sementara sang ibu diketahui melarikan diri karena tidak tahan dengan kekejaman L (Waspada, 10 Oktober 2003).

Bentuk kekerasan terhadap anak yang paling banyak kasusnya adalah pemerkosaan dan pelecehan seksual, kasus ini dari tahun ke tahun juga semakin meningkat, hal ini mengindikasikan bahwa moral masyarakat semakin lama semakin merosot.

Penegakan Hukum

Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberikan manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum, keadilan diperhatikan. Perlu difahami bahwa kualitas pembangunan dan penegakkan hukum yang dituntut masyarakat saat ini bukan sekedar kualitas formal, tetapi adalah kualitas materil/substansial. Kemudian, strategi sasaran pembangunan dan penegakan hukum, harus ditujukan pada kualitas substantif seperti terungkap dalam beberapa isu sentral yang dituntut masyarakat saat ini, yaitu antara lain: a. adanya perlindungan HAM; b. tegaknya nilai kebenaran, kejujuran, keadilan, dan kepercayaan antar sesama; c. tidak ada penyalahgunaan kekuasaan/kewenangan; d. bersih dari praktik pavoritisme (pilih kasih), korupsi, kolusi, dan nepotisme dan mafia peradilan; e. terwujudnya kekuasaan kehakiman/penegakan hukum yang merdeka dan tegaknya kode etik/kode profesi; f. adanya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Peranan hukum dalam masyarakat yanag bebas ialah to enforce the truth and justice, yakni penegakkan kebanran dan menegakkan keadilan. Hal ini dapat terwujud bila penegakan hukum dilakukan tanpa pilih kasih yang tidak ada diskriminasi dan tidak bersifat berat sebelah atau imparsial. Penegakan hukum juga dilakukan tidak bertentangan dengan kebutuhan, kesadaran dan ketertiban masyarakat.

Berkaitan dengan kekerasan terhadap anak, peraturan perundang-undangan yang dapat diterapkan di samping KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana), juga ada UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU No. 22 Tahun 2004 tentang Pencegahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Melihat perangkat hukum ini, yang mengatur bahwa terhadap pelaku tindak kekerasan terhadap anak terdapat sanksi yang berat, sehingga pelaku jera dan orang lain tidak melakukan perbuatan yang sama. Namun harapan itu sampai sekarang masih sebatas “harapan dalam mimpi” dan persoalan-persoalan tentang tindakan-tindakan kekerasan terhadap anak Indonesia khususnya di Sumatera Utara, masih terus berlanjut dan menunjukkan skala yang meningkat pada setiap tahun. Hal ini terjadi karena terhadap para pelaku tindak kekerasan, tidak dipidana berat. Ada pelaku tindak kekerasan terhadap anak hanya dijatuhi pidana penjara di bawah 1 tahun, bahkan lebih ringan dari 1 tahun. Menyangkut kekerasan terhadap anak, dapat dilihat tabel berikut.





Kekerasan Terhadap Anak Menurut Bentuk Kekerasan

Tahun 2002-2004


No

Bentuk kekerasan

Tahun 2002

Tahun 2003

Tahun 2004

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

  1. 1

Perkosaan

41

47

51

  1. 2

Pelecehan Seksual

36

42

43

  1. 8

Pembunuhan

11

14

13

  1. 5

Penganiayaan/Sekap

20

18

12

  1. 2

Penculikan

11

8

6

  1. 7

Penipuan/Rayuan/Ingkar Janji

16

13

12


Perampokan/Penodongan

24

18

7


Dijual/Pelacuran/Perdagangan Bayi

12

17

20


Sodomi

5

4

3


Ditelantarkan

6

10

17


Ditembak

-

1

2


Kehamilan tidak diinginkan

17

15

24


Kecelakaan

18

21

21


Anak yang berkonflik dengan hukum

28

34

41

Total Kasus

245

259

272

Sumber data : Lembaga Advokasi Anak Indonesia (LAAI)

Berdasarkan data di kekerasan terhadap anak dari tahun ke tahun semakin meningkat, dimana secara total dalam tahun 2002 terdapat 245 kasus, meningkat menjadi 259 kasus pada tahun 2003 dan kembali meningkat menjadi 272 kasus pada tahun 2004. Kenyataannya kasus-kasus yang belum terungkap masih banyak lagi, terutama kasus-kasus yang terjadi dalam rumah tangga yang biasanya masih ditutupi karena pelakunya adalah pihak keluarga sendiri.

Agar kekerasan terhadap anak dapat dikurangi atau dicegah, penegakan hukum harus dilakukan dengan benar. Hukum harus ditegakkan dan diberlakukan kepada siapa saja. Dalam praktiknya, dalam melakukan penegakan hukum dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum adalah: faktor hukumnya sendiri (undang-undang); faktor penegak hukum yakni pihak-pihak yang membentuk dan menerapkan hukum itu; faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum itu; faktor masyarakat, yaitu lingkungan hukum berlaku diterapkan; faktor kebudayaan, yang lahir dalam pergaulan hidup manusia. Dari beberapa faktor di atas, yang paling penting adalah faktor penegak hukum. Penegak hukum yang utama adalah polisi sebagai penyidik, jaksa sebagai Penuntu Umum, Hakim, Petugas Lembaga Kemasyarakatan. Para penegak hukum diharapkan harus professional, hal ini penting untuk menghindari terjadinya malpraktik di bidang hukum, para penegak hukum yang tidak professional, sering melakukan malpraktik di bidang hukum. Menurut saya, menciptakan para penegak hukum yang profesional, dalam melakukan rekruitmen para penegak hukum (baik polisi, jaksa, hakim, petugas lembaga pemasyarakatan), harus diperhatikan 3 (tiga) hal secara simultan, yaitu: IQ (Intellegence Quotient) atau tingkat kecedasan. Para penegak hukum yang diharapkan adalah yang mempunyai tingkat kecerdasan tertentu. Hal ini berarti bahwa para penegak hukum itu berasal dari kualifikasi pendidikan tertentu pula. Kenyataannya, banyak penegak hukum yang salah menerapkan peraturan perundang-undang dan bahkan tidak mampu memprediksi kemungkinan yang dapat terjadi atas tindakan/keputisan yang diambil, karena keterbatasan kecerdasannya yang dalam hal ini adalah keterbatasan pendidikannya; EQ (Emotional Quotient) atau tingkat kemampuan mengedalikan emosi, yang merupakan kemampuan memahami perasaan orang lian dan kemampuan memilah perasaan sendiri. Kemampuan mengendalikan emosi, merupakan hal penting bagi aparat penegak hukum yang sering berhadapan langsung dengan masyarakat, terutama bila menghadapi amuk massa atau demonstrasi. Intelegensi emosi yang rendah, menimbulkan tindakan-tindakan yang arogan, gegabah; SQ (Spritual Quotient) atau tingkat kemampuan menghayati dan mengamalkan ajaran/nilai-nilai agama. Para penegak hukum yang tidak sungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agamanya, akan mudah tergoada dengan godaan duniawi yang tidak benar, sehingga melakukan tindakan-tindakan yang tidak benar pula.




KEPASTIAN HUKUM AKTA KELAHIRAN ANAK

KEPASTIAN HUKUM AKTA KELAHIRAN ANAK

Oleh: Dr. Maidin Gultom, SH, MH.

Pendahuluan

Kepastian hukum merupakan kehendak setiap orang. Dalam mewujudkan kepastian hukum peristiwa-peristiwa yang dialami seseorang (seperti peristiwa kelahiran, perkawinan, perceraian, kematian), akta-akta yang dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil mempunyai kekuatan pasti dan tidak dapat dibantah oleh pihak lain. Akta catatan sipil merupakan bukti yang kuat dan sempurna karena merupakan akta otentik. Dalam hukum ditentukan bahwa akta otentik suatu bukti yang sempurna, yang memastikan perlindungan atas hak-hak seseorang. Akta Catatan Sipil dapat berupa: Akta Perkawinan, Akta Kelahiran, Akta Perceraian, Akta Kematian.

Akta Kelahiran

Pencatatan kelahiran anak, memberikan perlindungan (kepastian hukum) terhadap seorang anak, sekaligus pencatatan kelahiran anak tersebut dimaksudkan untuk menjaga ketertiban dalam masyarakat. Pencatatan kelahiran anak, merupakan pengakuan pertama dari negara atas keberadaan anak. Anak yang tidak dicatat kelahirannya, kehilangan hak yang paling mendasar, yakni hak untuk diakui sebagai subjek hukum, sebab pencatatan kelahiran merupakan “karcis” untuk menjadi warga negara. Tanpa akta kelahiran, seseorang tidak “ada” secara hukum, dengan demikian tidak memiliki akses legal yang memberikannya hak perlindungan sebagai bagian dari suatu bangsa.

Majelis Umum PBB pada tanggal 20 Nopember 1989, telah menyetujui Konvensi Hak-hak Anak, yang diratifikasi oleh Bangsa Indonesia dengan Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990. Salah satu hak anak menurut Konvensi tersebut adalah: hak-hak anak untuk memperoleh identitasnya, termasuk kewarganegaraannya, namanya dan hubungan keluarganya sebagaimana yang diakui oleh undang-undang tanpa campur tangan yang tidak sah. Pasal 53 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 ditentukan bahwa setiap anak sejak kelahirannya berhak atas suatu nama dan status kewarganegaraan. Yang dimaksud dengan “suatu nama” adalah nama sendiri, dan nama orang tua kandung, dan atau nama keluarga, dan atau nama marga. Pasal 55 UU No. 1 Tahun1974, menentukan bahwa asal-usul seseorang hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran yang otentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Jika tidak ada akta, maka pengadilan dapat membuat “penetapan” mengenai asal-usul anak tersebut sebagai “dasar” bagi catatan sipil untuk mengeluarkan akta yang otentik.

Pasal 27 Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, menentukan bahwa (1) Identitas diri setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya; (2) Identitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dituangkan dalam akta kelahiran, (3) Pembuatan akta kelahiran didasarkan pada surat keterangan dari orang yang menyaksikan dan/atau membantu proses kelahiran (4) Dalam hal anak yang proses kelahirannya tidak diketahui, dan orang tuanya tidak diketahui keberadaannya, pembuatan akta kelahiran untuk anak tersebut didasarkan pada keterangan orang yang menemukannya.

Berdasarkan ketentuan Pasal 27 ini, diketahui bahwa identitas seorang anak harus diberikan sejak kelahirannya dan dituangkan dalam akta kelahiran. Berdasarkan Pasal ini, dapat juga diketahui bahwa pencatatan kelahiran anak tidak saja dapat dilakukan terhadap anak sah, tetapi juga anak luar kawin bahkan anak yang proses kelahirannya tidak diketahui, dan orang tuanya tidak diketahui keberadaannya. Hal ini mengindikasikan bahwa anak jalanan atau gepeng (gelandangan pengemis) dapat dicatatkan kelahirannya.

Pasal 28 UU No. 23 Tahun 2002 menentukan bahwa (1) Pembuatan akta kelahiran menjadi tanggung jawab pemerintah yang dalam pelaksanaannya diselenggarakan serendah-rendahnya pada tingkat kelurahan/desa, (2) Pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diajukannya permohonan (3) Pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dikenai biaya, (4) Ketentuan mengenai tata cara dan syarat-syarat pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan peraturan perundang-undangan.

Dari Pasal 28 ini, dapat diketahui bahwa pembuatan akta kelahiran merupakan tanggungjawab pemerintah. Pelaksananya sampai ke tingkat kelurahan/desa. Waktu pembuatan akta kelahiran, paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diajukan permohonan. Pembuatan akta kelahiran adalah gratis artinya tidak dikenai biaya.

Dalam Praktik

Pencatatan kelahiran dalam praktiknya menjadi hal yang problematis di Indonesia, bukan hanya karena berbelit-belit, tetapi juga karena masih banyak masalah-masalah yang dianggap mengganggu, seperti sikap diskriminatif terhadap mereka, yang dipandang sebagai ”yang lain.” Pencatatan kelahiran secara tidak langsung merupakan turunan dari pencatatan perkawinan. Persolannya, ada perkawinan yang tidak bisa dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil/Dinas Kependudukan, karena interpretasi undang-undang yang berbeda, seperti kasus yang dialami para penganut kepercayaan. Mereka tidak bisa memiliki dokumen perkawinan, karena kepercayaannya tidak diakui oleh negara. Hal ini berakibat bahwa meski anak-anaknya bisa mendapatkan akta kelahiran, dianggap bukan berasal dari perkawinan yang sah dan hanya memiliki nama ibu pada aktanya. Mereka yang berasal dari luar nilai-nilai, moral, klan, ideologi yang dominan di negara ini, mengalami berbagai diskriminasi dalam kehidupan masyarakat. Akta kelahiran tanpa menyebut nama ayahnya, menstigmatisasi anak sebagai anak haram. Suatu istilah yang amat keliru, karena anak itu sendiri tidak pernah minta dilahirkan. Pada akta kelahiran juga ada kode-kode tertentu yang diberikan untuk memperlihatkan perbedaan antara pribumi, yang beragama lain di luar agama mayoritas, dan perbedaan yang menyangkut etnis. Peraturan kolonial Belanda (yang masih berlaku) dibuat untuk memudahkan pencatatan administratif (barangkali juga sebagai bagian dari praktik politik memecah belah) antara warga pribumi dan nonpribumi, pribumi muslim dan non-muslim, masih digunakan hingga kini. Kriteria identitas yang masih terus digunakan itu, menyiaratkan diskriminasi suatu sistem pemerintahan yang tak jauh berbeda dengan pemerintah kolonial, dan yang lebih runyam lagi karena ada nuansa politik di baliknya.

Anak yang lahir, statusnya bukan anak sah karena perkawinan yang dilangsungkan bukan menurut agama yang dianut. Menurut saya (penulis) hal ini merupakan kekeliruan besar yang tidak mencerminkan perlindungan hukum/Hak Asasi Manusia yang sama, namun menimbulkan diskrimasi. Anak terpaksa berstatus anak luar kawin (tidak sah), padahal sudah dilangsungkan menurut kepercayaan yang dianut. Secara psikologis, hal ini mempengaruhi perkembangan anak, karena statusnya sebagai anak luar kawin/tidak sah. Hal ini sangat jelas bertentangan juga dengan prinsip perlindungan anak, karena tindakan-tindakan tersebut dapat menghambat pertumbuhan anak, baik secara fisik, mental dan sosial. Hal ini perlu kita sadari bersama dan perlu disikapi demi masa depan generasi bangsa kita. Hukum dibentuk tidak lain untuk kesejahteraan rakyat (kemanfatan) berarti jangan hukum dibentuk membuat kita, anak cucu kita menderita/mengalami kerugian, baik fisik, mental, maupun sosial.

Penutup

Pencatatan kelahiran anak, menghasilkan Akta Kelahiran Anak, yang dapat memberikan kegunaan yang begitu banyak bagi sianak, seperti:

  1. Kenyataannya, tidak banyak orang tahu bahwa pencatatan kelahiran anak sebagai bukti usia kelahiran anak, merupakan langkah utama yang penting dan berguna bagi perlindungan anak dari eksploitasi dan berbagai pelanggaran yang berkaitan dengan usia, seperti dalam rekruitmen tenaga kerja dan lain-lain.

  2. Dalam konteks kehidupan masyarakat dan bernegara, Akta Kelahiran berguna untuk memberi status hukum yang jelas tentang asal usul seseorang, tanpa adanya Akta Kelahiran tersebut, anak akan menemui sejumlah kesulitan di kemudian hari saat tumbuh dewasa, misalnya seperti: sulit masuk sekolah, sulit mencari pekerjaaan, sulit menikah, atau kesulitan ketika menghadapi sengketa pewarisan di pengadilan;

  3. Pencatatan kelahiran berguna bagi pemerintah untuk dijadikan semacam basic tool (perangkat dasar), agar pemerintah dapat bekerja secara efisien dalam merencanakan berbagai hal yang berkaitan dengan kesejahteraan anak, seperti: sekolah, pelayanan kesehatan maupun berbagai jenis pelayanan lain untuk memenuhi kebutuhan warganya.



MENURUT HUKUM: SAHKAH ANAK ANDA?

MENURUT HUKUM: SAHKAH ANAK ANDA?

Oleh: Dr. Maidin Gultom, S.H., M.H.

Pendahuluan

Pasal 330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata), menentukan bahwa belum dewasa apabila belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Pasal 1 ayat (2) UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, menentukan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun dan belum pernah kawin. Pasal 1 angka 1 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menentukan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak dapat dibedakan atas anak kandung yaitu anak yang mempunyai hubungan darah dengan salah satu atau kedua orang tuanya (ayah dan atau ibunya) dan anak angkat yaitu anak yang tidak mempunyai hubungan darah dengan salah satu atau kedua orang tuanya; Anak sah yaitu anak yang dilahirkan akibat atau yang diikuti oleh perkawinan yang sah dan anak tidak sah yaitu anak yang dilahirkan bukan akibat atau yang diikuti oleh perkawinan yang sah. Anak sah terdiri dari: anak yang dibenihkan di luar perkawinan dan dilahirkan di dalam perkawinan (hamil dulu baru kawin, anaknya adalah sah), anak yang dibenihkan di dalam perkawinan dan dilahirkan di dalam perkawinan (hamil dan melahirkan dalam perkawinan), anak yang dibenihkan di dalam perkawinan dan dilahirkan di luar perkawinan (karena cerai, meninggal dunia), anak yang dibenihkan dan dilahirkan di luar perkawinan dan diikuti dengan perkawinan (dengan pengakuan suaminya); di samping itu dikenal pula anak haram, yaitu anak yang dilahirkan dari perkawinan yang dilarang (seperti perkawinan dari orang-orang yang mempunyai hubungan darah).


Perkawinan Sah dan Anak Sah

Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Perkawinan, menentukan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KYME. Berdasarkan ketentuan ini, dapat ditafsirkan bahwa perkawinan sejenis (homoseksual/lesbian) bukan merupakan perkawinan sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang ini.

Pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 menentukan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Dari Pasal ini dapat diketahui bahwa anak disebut anak sah bila lahir karena perkawinan yang sah. Jika anak lahir tidak dengan perkawinan yang sah berarti bukan anak sah.

Berkaitan dengan perkawinan yang sah, Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 menentukan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dari ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa perkawinan disebut sah apabila dilangsungkan menurut agama dan kepercayaannya itu dan perkawinan tersebut dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil (Dinas Kependudukan). Hal ini berarti bahwa bila perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan saja, tanpa mencatatkan pada Kantor Catatan Sipil (Dinas Kependudukan), maka perkawinan itu tidak sah.

Begitu juga bila hanya dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil, tanpa dilangsungkan menurut agama, maka perkawinan itu juga tidak sah? Hal ini juga menunjukkan bahwa anak yang dilahirkan dalam perkawinan ini dianggap tidak sah? Jelas bahwa anak yang dilahirkan bukan karena akibat/diikuti oleh perkawinan yang sah, bukan merupakan anak sah tetapi merupakan anak yang tidak sah.

Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa status perkawinan sangat menentukan status/kedudukan hukum anak. Jadi anak sah dilahirkan karena perkawinan yang sah, dan apabila anak lahir bukan karena perkawinan yang sah (menurut Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974).

Dalam praktik, hal ini menimbulkan permasalahan, dimana dalam kenyataannya bisa saja terdapat penduduk yang memeluk agama namun agama yang dianutnya, belum diakui secara juridis eksistensinya di Indonesia. Agama-agama tersebut seperti Kong Hu Chu, Anglikan, Ortodhox dan lain-lain. Dalam praktik para petugas sering tidak memahami bahwa agama tersebut di atas, memang belum diakui secara sah di Indonesia, tetapi yang sebenarnya agama-agama tersebut dapat dikategorikan pada ”aliran kepercayaan” yang keberadaannya diakui di Indonesia. Jadi harus difahami bahwa di Indonesia boleh tidak beragama (yang diakui Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha) namun percaya kepada Tuhan kepada Tuhan Yang Maha Esa (jadi di Indonesia tidak boleh atheis atau tidak percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa).

Apabila melangsungkan perkawinan tidak menurut agama yang diakui seperti tersebut di atas, apabila anak lahir, maka anak yang lahir tersebut bukan sebagai anak yang sah. Menurut saya (penulis) hal ini merupakan kekeliruan besar yang tidak mencerminkan perlindungan hukum/Hak Asasi Manusia. Tindakan-tindakan ini tidak mencerminkan rasa keadilan (sense of justice), sebab bersifat diskriminatif (diskriminasi). Anak terpaksa berstatus anak luar kawin (tidak sah), padahal sudah dilangsungkan menurut kepercayaan yang dianut. Secara psikologis, hal ini mempengaruhi perkembangan anak, karena statusnya sebagai anak luar kawin/tidak sah. Dapat juga dikatakan bahwa anak menjadi korban/viktim secara struktural yaitu korban dari ketidaktegasan dan ketidakfahaman para aparatur pemerintah (Kantor Catatan Sipil/Dinas Kependudukan). Hal ini sangat jelas bertentangan juga dengan prinsip perlindungan anak, karena tindakan-tindakan tersebut secara psikologis dapat menghambat pertumbuhan anak. Anak luar kawin adalah anak yang lahir yang tidak didasarkan atas suatu perkawinan (yang sah). Anak tidak sah dalam doktrin, dibedakan antara anak zinah, anak sumbang dan anak luar kawin.


Penutup


Hak negara untuk mengatur dalam rangka kebijakan sosial (social policy), baik dalam bentuk kebijakan kesejahteraan sosial (social welfare policy) maupun kebijakan keamanan sosial (social defence policy). Negara berhak mengatur restriksi dan limitasi kekuasaan, untuk menjaga agar pengaturan tersebut tetap dalam keseimbangan, keselarasan dan keserasian antara kepentingan negara, kepentingan masyarakat dan kepentingan pribadi.

Rambu-rambu pengaturan terbentuk dalam asas-asas hukum, yang mempunyai karakteristik antara lain: a. Merupakan rasa susila dan berasal dari kesadaran hukum atau keyakinan kesusilaan masyarakat; b. Dipositifkan baik dalam bentuk perundang-undangan maupun yurisprudensi; c. Artikulasi dan penjabaran asas-asas hukum tergantung dari kondisi-kondisi sosial, sehingga open-ended, multi-interpretable dan dipengaruhi oleh perkembangan sosial dan bukannya bersifat absolut; d. Berkedudukan lebih tingggi dari pejabat-pejabat resmi (penguasa).



MENURUT HUKUM: SAHKAH ANAK ANDA?

MENURUT HUKUM: SAHKAH ANAK ANDA?

Pendahuluan

Pasal 330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata), menentukan bahwa belum dewasa apabila belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Pasal 1 ayat (2) UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, menentukan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun dan belum pernah kawin. Pasal 1 angka 1 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menentukan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak dapat dibedakan atas anak kandung yaitu anak yang mempunyai hubungan darah dengan salah satu atau kedua orang tuanya (ayah dan atau ibunya) dan anak angkat yaitu anak yang tidak mempunyai hubungan darah dengan salah satu atau kedua orang tuanya; Anak sah yaitu anak yang dilahirkan akibat atau yang diikuti oleh perkawinan yang sah dan anak tidak sah yaitu anak yang dilahirkan bukan akibat atau yang diikuti oleh perkawinan yang sah. Anak sah terdiri dari: anak yang dibenihkan di luar perkawinan dan dilahirkan di dalam perkawinan (hamil dulu baru kawin, anaknya adalah sah), anak yang dibenihkan di dalam perkawinan dan dilahirkan di dalam perkawinan (hamil dan melahirkan dalam perkawinan), anak yang dibenihkan di dalam perkawinan dan dilahirkan di luar perkawinan (karena cerai, meninggal dunia), anak yang dibenihkan dan dilahirkan di luar perkawinan dan diikuti dengan perkawinan (dengan pengakuan suaminya); di samping itu dikenal pula anak haram, yaitu anak yang dilahirkan dari perkawinan yang dilarang (seperti perkawinan dari orang-orang yang mempunyai hubungan darah).


Perkawinan Sah dan Anak Sah

Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Perkawinan, menentukan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KYME. Berdasarkan ketentuan ini, dapat ditafsirkan bahwa perkawinan sejenis (homoseksual/lesbian) bukan merupakan perkawinan sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang ini.

Pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 menentukan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Dari Pasal ini dapat diketahui bahwa anak disebut anak sah bila lahir karena perkawinan yang sah. Jika anak lahir tidak dengan perkawinan yang sah berarti bukan anak sah.

Berkaitan dengan perkawinan yang sah, Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 menentukan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dari ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa perkawinan disebut sah apabila dilangsungkan menurut agama dan kepercayaannya itu dan perkawinan tersebut dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil (Dinas Kependudukan). Hal ini berarti bahwa bila perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan saja, tanpa mencatatkan pada Kantor Catatan Sipil (Dinas Kependudukan), maka perkawinan itu tidak sah.

Begitu juga bila hanya dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil, tanpa dilangsungkan menurut agama, maka perkawinan itu juga tidak sah? Hal ini juga menunjukkan bahwa anak yang dilahirkan dalam perkawinan ini dianggap tidak sah? Jelas bahwa anak yang dilahirkan bukan karena akibat/diikuti oleh perkawinan yang sah, bukan merupakan anak sah tetapi merupakan anak yang tidak sah.

Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa status perkawinan sangat menentukan status/kedudukan hukum anak. Jadi anak sah dilahirkan karena perkawinan yang sah, dan apabila anak lahir bukan karena perkawinan yang sah (menurut Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974).

Dalam praktik, hal ini menimbulkan permasalahan, dimana dalam kenyataannya bisa saja terdapat penduduk yang memeluk agama namun agama yang dianutnya, belum diakui secara juridis eksistensinya di Indonesia. Agama-agama tersebut seperti Kong Hu Chu, Anglikan, Ortodhox dan lain-lain. Dalam praktik para petugas sering tidak memahami bahwa agama tersebut di atas, memang belum diakui secara sah di Indonesia, tetapi yang sebenarnya agama-agama tersebut dapat dikategorikan pada ”aliran kepercayaan” yang keberadaannya diakui di Indonesia. Jadi harus difahami bahwa di Indonesia boleh tidak beragama (yang diakui Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha) namun percaya kepada Tuhan kepada Tuhan Yang Maha Esa (jadi di Indonesia tidak boleh atheis atau tidak percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa).

Apabila melangsungkan perkawinan tidak menurut agama yang diakui seperti tersebut di atas, apabila anak lahir, maka anak yang lahir tersebut bukan sebagai anak yang sah. Menurut saya (penulis) hal ini merupakan kekeliruan besar yang tidak mencerminkan perlindungan hukum/Hak Asasi Manusia. Tindakan-tindakan ini tidak mencerminkan rasa keadilan (sense of justice), sebab bersifat diskriminatif (diskriminasi). Anak terpaksa berstatus anak luar kawin (tidak sah), padahal sudah dilangsungkan menurut kepercayaan yang dianut. Secara psikologis, hal ini mempengaruhi perkembangan anak, karena statusnya sebagai anak luar kawin/tidak sah. Dapat juga dikatakan bahwa anak menjadi korban/viktim secara struktural yaitu korban dari ketidaktegasan dan ketidakfahaman para aparatur pemerintah (Kantor Catatan Sipil/Dinas Kependudukan). Hal ini sangat jelas bertentangan juga dengan prinsip perlindungan anak, karena tindakan-tindakan tersebut secara psikologis dapat menghambat pertumbuhan anak. Anak luar kawin adalah anak yang lahir yang tidak didasarkan atas suatu perkawinan (yang sah). Anak tidak sah dalam doktrin, dibedakan antara anak zinah, anak sumbang dan anak luar kawin.


Penutup


Hak negara untuk mengatur dalam rangka kebijakan sosial (social policy), baik dalam bentuk kebijakan kesejahteraan sosial (social welfare policy) maupun kebijakan keamanan sosial (social defence policy). Negara berhak mengatur restriksi dan limitasi kekuasaan, untuk menjaga agar pengaturan tersebut tetap dalam keseimbangan, keselarasan dan keserasian antara kepentingan negara, kepentingan masyarakat dan kepentingan pribadi.

Rambu-rambu pengaturan terbentuk dalam asas-asas hukum, yang mempunyai karakteristik antara lain: a. Merupakan rasa susila dan berasal dari kesadaran hukum atau keyakinan kesusilaan masyarakat; b. Dipositifkan baik dalam bentuk perundang-undangan maupun yurisprudensi; c. Artikulasi dan penjabaran asas-asas hukum tergantung dari kondisi-kondisi sosial, sehingga open-ended, multi-interpretable dan dipengaruhi oleh perkembangan sosial dan bukannya bersifat absolut; d. Berkedudukan lebih tingggi dari pejabat-pejabat resmi (penguasa).



PERDAGANGAN (TRAFFICKING) ANAK DAN PEREMPUAN


PERDAGANGAN (TRAFFICKING) ANAK DAN PEREMPUAN


Oleh:

Dr. Maidin Gultom, SH., MH.


Pendahuluan

Setiap hari, jutaan anak dan perempuan di seluruh dunia rentan berhadapan dengan bahaya. Setiap hari, jutaan anak dan perempuan menderita akibat kemiskinan dan krisis ekonomi. Beratus juta anak dan perempuan menderita dan mati karena perang, kekerasan, eksploitasi, ditelantarkan serta berbagai bentuk penganiayaan dan diskriminasi. Di seluruh dunia, anak dan perempuan hidup dalam keadaan yang teramat sulit, menjadi cacat permanen atau cedera parah oleh konflik bersenjata, mereka juga terusir di dalam negeri atau terusir dari negerinya sebagai pengungsi, menderita akibat bencana alam dan bencana buatan manusia, termasuk bahaya terkena radiasi dan bahan kimia berbahaya. Perdagangan, penyelundupan, eksploitasi fisik dan seksual dan juga penculikan, eksploitasi ekonomis, bahkan dalam bentuk yang buruk sekalipun, merupakan kenyataan sehari-hari bagi anak dan perempuan, sedangkan kekerasan domestik dan kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan merupakan masalah serius. Puluhan ribu anak dan perempuan di bawah usia 18 (delapan belas) tahun, berkeliaran siang dan malam sebagai komoditas seks, baik ke pasar seks domestik maupun manca negara. Lembaga internasional meramalkan, Indonesia akan segera menjadi tujuan para pelancong seks dari luar negeri.


Trafficking (Perdagangan) Anak dan Perempuan

Pengertian

Krisis moneter berkepanjangan dan lesunya perekonomian menyebabkan banyak keluarga kehilangan sumber pendapatannnya dalam kondisi ini, pelacuran dianggap memberi kesempatan yang lebih baik kepada anak dan perempuan mendapatkan uang. Banyak anak dan perempuan dari desa yang mau meninggalkan kampung halamannya karena tergiur oleh janji-janji yang diberikan oleh para trafficker (orang yang memperdagangkan) untuk bekerja di kota dengan gaji yang besar, tetapi sesampainya di kota, diperdaya atau dipaksa untuk menjadi pekerja seks.

Trafficking adalah salah satu bentuk kekerasan yang dilakukan terhadap anak, yang menyangkut kekerasan fisik, mental dan atau seksual. Trafficking merupakan perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk paksaaan lainnya, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, ataupun memberi atau menerima bayaran atau manfaat, untuk tujuan eksploitasi seksual, perbudakan atau praktik-praktik lain, pengambilan organ tubuh. Berdasarkan hal ini, dapat diketahui bahwa proses trafficking adalah perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan (penyekapan), penerimaan. Trafficking dilakukan dengan cara: ancaman, kekerasan, paksaan, penculikan, penipuan, penyalahgunaan wewenang. Tujuan dilakukan trafficking adalah untuk: transplantasi organ tubuh, penyalahgunaan obat, perdagangan anak lintas batas, pornografi, seksual komersil, perbudakan/penghambaan dan lain-lain. Secara umum, faktor-faktor yang mendorong terjadinya trafficking anak adalah kemiskinan, terbatasnya kesempatan kerja, konflik sosial, lemahnya penegakan hukum, rendahnya pendidikan dan kesehatan, kekerasan dalam rumah tangga, desakan ekonomi.

Perdagangan orang (trafficking in person) dapat diartikan sebagai rekruitmen, transportasi, pemindahan, penyembunyiaan atau penerimaan seseorang, dengan anacaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk tekanan lain, penculikan, pemalsuan, penipuan atau pencurangan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, ataupun penerimaan/pemberian bayaran, atau manfaat sehingga mmemperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang tersebut untuk dieksploitasi, yang secara minimal termasuik eksploitasi lewat prostitusi atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik-praktik yang menyrupainya, adopsi illegal atau pengambilan organ-organ tubuh. Perdagangan orang (trafficking in persons) merupakan kejahatan yang keji terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), yang mengabaikan hak seseorang untuk hidup bebas, tidak disiksa, kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, beragama, hak untuk tidak diperbudak, dan lainnya. Anak dan perempuan adalah yang paling banyak menjadi korban perdagangan orang (trafficking in persons), menempatkan mereka pada posisi yang sangat berisiko khususnya yang berkaitan dengan kesehatannya baik fisik maupun mental spritual, dan sangat rentan terhadap tindak kekerasan, kehamilan yang tak dikehendaki, dan infeksi penyakit seksual termasuk HIV/AIDS. Kondisi anak dan perempuan yang seperti itu akan mengancam kualitas ibu bangsa dan generasi penerus bangsa Indonesia.

Kelompok rentan perdagangan (trafficking) untuk menjadi korban adalah orang-orang dewasa dan anak-anak, laki-laki maupun perempuan yang pada umumnya berada dalam kondisi rentan, seperti laki-laki, perempuan dan anak-anak dari keluarga miskin yang berasal dari pedesaan atau daerah kumuh perkotaan; mereka yang berpendidikan dan berpengetahuan terbatas; yang terlibat masalah ekonomi, politik dan sosial yang serius; anggota keluarga yang mengalami krisis ekonomi seperti hilangnya pendapatan suai/orangtua, suai/orang tua sakit keras, atau meninggal dunia; putus sekolah; korban kekerasan fisik, psikis, seksual; para pencari kerja (termasuk buruh migran); perempuan dan anak jalanan; korban penculikan; janda cerai akibat pernikahan dini; mereka yang mendapat tekanan dari orang tua atau lingkungannya untuk bekerja; bahkan pekerja seks yang menganggap bahwa bekerja di luar negeri menjanjikan pendapatan lebih.


Pelaku

Pelaku dalam perdagangan (trafficking) anak dan perempuan dapat dibedakan dsalam 3 (tiga) unsur. Pembedaan dilakukan berdasarkan peranannya masing-masing dalam tindakan perdagangan (trafficking):

  1. Pihak yang berperan pada awal perdagangan;

  2. Pihak yang menyediakan atau menjual orang yang diperdagangkan;

  3. Pihak yang berperan pada akhir rantai perdagangan sebagai penerima/pembeli orang yang diperdagangkan atau sebagai pihak yang menahan korban untuk dipekerjakan secara paksa dan yang mendapatkan keuntungan dari kerja itu.


Modus Operandi

Modus operandi sindikat perdagangan perempuan dilakukan dengan bererapa cara, yaitu:

  1. Dengan ancaman dan pemaksaan, biasanya dilakukan oleh trafiker yang telah dikenal dekat dengan pelaku. Dalam hal tersebut pelaku menggunakan kedekatannya dan kedudukannya yang lebih superioritas dibanding korban, sehingga membuat korban berada dalam tekanan dan kedudukan tersubordinasi. Hal tersebut membuat korban tidak dapat menolak keinginan pelaku.

  2. Penculikan; biasanya korban diculik secara paksa atau melalui hipnotis melalui anggota sindikat. Tak jarang juga korban diperkosa terlebih dahulu oleh anggota sindikat sehingga menjadi semakin tidak berdaya.

  3. Penipuan, kecurangan atau kebohongan; Modus tersebut merupakan modus yang paling sering dilakukan oleh sindikat trafficking. Korban ditipu oleh anggota sindikat yang biasanya mengaku sebagai pencari tenaga kerja dengan menjanjikan gaji dan fasilitas yang menyenangkan sehingga korban tertarik untuk mengikuti tanpa mengetahui kondisi kerja yang akan dijalaninya.

  4. Penyalahgunaan Kekuasaan; Dalam perdagangan perempuan banyak aparat yang menyelahgunakan kekuasaannnya untuk membecking sindikat perdagangan perempuan. Pemalsuan identitas kerap kali dilakukan oleh aparat pemerintah yang berhubungan langsung dengan pengurusan data diri. Seperti pemalsuan KTP dan akta kelahiran. Di bagian imigrasi juga sering terjadi kolusi antara pelaku dengan pegawai imigrasi sehingga perdagangan perempuan yang ditujukan ke luar negeri dapat melewati batas negara dengan aman.

Modus operandi rekrutmen terhadaop kelompok rentan biasanya dengan rayuan, menjanjikan berbagai kesenangan dan kemewahan, menipu atau janji palsu, menjebak, mengancam, menyalahgunakan wewenang, menjerat dengan hutang, mengawini atau memacari, menculik, menyekap atau memerkosa. Modus lain berkedok mencari tenaga kerja untuk bisnis entertainment, kerja di perkebunan atau bidang jasa di luar negeri dengan upah besar. Ibu-ibu hamil yang kesulitan biaya untuk melahirkan atau membesarkan anak dibujuk dengan jeratan hutang supaya anaknya boleh diadopsin agar dapat hidup lebih baik, namun kemudian dijual kepada yang menginginkan. Anak-anak di bawah umur dibujuk agar bersedia melayani para pedofil dengan memberikan barang-barang keperluan mereka bahkan janji untuk disekolahkan.


Pengaturan dalam KUHP

Perangkat hukum nasional di Indonesia masih tidak memadai untuk menghadapi suatu persoalan yang sebesar dan penuh kompleksitas sebagaimana masalah perdagangan anak dan perempuan. Sampai saat ini kasus-kasus perdagangan perempuan ditangani dalam 3 pasal, yaitu: Pasal 296 KUHP menentukan bahwa barang siapa yang pencahariannya atau kebiasaannya yaitu dengan sengaja atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain di hukum penjara selama-lamanya 1 tahun 4 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 15.000; Pasal 297 KUHP menentukan bahwa memperniagakan laki-laki yang belum dewasa dihukum selama-lamanya 6 tahun”; Pasal 298 KUHP menentukan bahwa pada waktu menjatuhkan hukuman karena salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 281, 284 -290 dan 292-297, maka dapat dijatuhkan hukuman pencabutan hak-hat tertentu. Kalau si tersalah melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 292-297 dalam melakukan pekerjaannya, dapat ia dipecat dari pekerjaannya itu.

Namun ketiga Pasal tersebut diatas cenderung tidak mampu menjerat para pelaku perdagangan perempuan dalam segenap keanekaragaman bentuknya, karena Pasal-pasal ini hanya mencakup perdagangan perempuan untuk tujuan eksploitasi perempuan dan penjabaran unsur-unsur tentang perdagangan perempuan itupun penuh dengan kerancuan. Kesulitan lain berkaitan dengan pengkategorisasian perdagangan perempuan sebagai ”Kejahatan terhadap kesusilaan” dalam KUHP, hal ini sangat semput hika dibandingkan dengan keluasan dan kompleksitas persoalan bagaimana terungkap pada defenisi internasional tentang perdagangan manusia, khususnya perempuan dan anak-anak dan kasus-kasus perdagangan manusia di Indonesia.


Penutup

Perlindungan terhadap anak dan perempuan dari traffiking (perdagangan) masih belum dilakukan secara maksimal. Perangkat perundang-undangan yang mengatur perlindungan hak-hak anak ini juga masih sangat minim, dan walaupun telah ada beberapa undang-undang yang mengatur perlindungan hak-hak anak ini, masih kurang tersosialisasi secara baik. Keseriusan aparat penegak hukum untuk menganggulangi, masih sangat lambat dan putusan yang dihasilkan masih tidak memenuhi rasa keadilan. Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap anak dan perempuan dari tindakan trafficking (perdagangan) antara lain adalah hendaknya aparat Kepolisian, Penuntut Umum, dan Hakim Pengadilan, konsisten dalam menangani kasus trafficking (perdagangan) anak dan perempuan, dengan memberikan prioritas penangan dan menghukum terdakwa dengan hukuman yang setimpal sesuai dengan perbuatannya.